Laporan dari geosurvey.co.id, Dennis Destryawan
geosurvey.co.id, JAKARTA — Konsep pengemasan aneka rokok tanpa branding dinilai melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), kenapa?
Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
Undang-Undang Merek menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis melalui gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan skema warna untuk membedakan satu merek dengan merek lainnya.
Namun RUU Menteri Kesehatan yang diluncurkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru mensyaratkan seluruh bungkus rokok yang diiklankan harus memiliki ciri kemasan yang sama tanpa ada perbedaan.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menanyakan isi rencana Menkes tersebut.
Sebab menurutnya branding merupakan hak pemilik usaha untuk membedakan dirinya dengan kompetitor.
“Karena tentunya pedagang ingin bersaing dengan pedagang lain dengan menunjukkan perbedaan produknya dengan pesaingnya,” kata Hikmahanto di Jakarta, dikutip Senin (11/11/2024).
Hal ini disampaikan dalam diskusi media bertajuk Membayar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Tantangan Industri Tembakau dalam Kebijakan Baru.
Selain itu, tekanan terhadap industri tembakau, dalam hal ini termasuk keseragaman kemasan rokok, selalu merupakan campur tangan asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Padahal, menurut peneliti hukum, dalam pasal FCTC disinyalir apa yang tertera pada bungkus rokok turut menyumbang peningkatan jumlah perokok. Padahal tudingan tersebut dianggap tidak benar dan patut dipertanyakan kembali.
Oleh karena itu, Hikmahanto melihat prinsip keseragaman kemasan rokok yang berujung pada hilangnya identitas merek sebagai agenda pemaksaan asing di pasar Indonesia.
Hikmahanto menjelaskan, rancangan undang-undang yang dibuat Menteri Kesehatan untuk mengatur kemasan rokok tanpa logo menjadi permasalahan di Indonesia.
Ketika Australia pertama kali memperkenalkan undang-undang untuk menghapus label rokok dari bungkus rokok pada tahun 2012, Indonesia adalah salah satu negara yang menentangnya.
Namun, kini Indonesia mencoba menerapkan kebijakan sebaliknya dengan menerapkan langkah-langkah tersebut.
Nyatanya, tindakan tersebut menimbulkan kendala bagi tenaga kerja Indonesia dan produk ekspor, khususnya rokok.
Hikmahanto mengatakan, “Negara-negara yang bisa mengekspor produk, seperti Indonesia, mendapat pemasukan dari sana. Kami juga menentang kebijakan negara yang menggunakan kemasan. Tapi sekarang kami ingin menerapkannya di Indonesia.”
Hikmahanto menilai agenda yang dibawa Kementerian Kesehatan melalui PP 28/2024 dan RUU Menkes diarahkan ke FCTC yang telah dicermati dengan cermat dan dipilih oleh pemerintah untuk tidak diterima.
“Kami tidak dan tidak akan mengikuti FCTC. Tapi mereka mendorong melalui Kementerian Kesehatan agar ketentuan di FCTC disetujui. Jadi tidak disetujui, disetujui dalam undang-undang Indonesia,” ujarnya.