geosurvey.co.id – Wakil Menteri Koordinator Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan mengatakan fenomena pengadilan negeri yang membatalkan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi nasional bertema “Tips dan Trik Penanganan dan Penyelesaian Perkara Arbitrase” yang diselenggarakan di Paradi Tower, Jakarta pada Jumat (1/11/2024).
“Ada kecenderungan pembatalan putusan arbitrase, putusan BANI, khususnya di pengadilan, pengadilan negeri, di Indonesia,” ujarnya dalam keterangannya.
Dalam seminar hybrid mengenai pendidikan, rekomendasi, supervisi pengacara asing, dan pendidikan profesi khusus DPN paradi, Prof. Otto mengatakan, putusan tersebut dibatalkan karena penafsiran Pasal 70 (UU) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa semakin liberal.
“Pasal 70 UU Arbitrase sudah sangat fleksibel penafsirannya, bahkan sewenang-wenang, sehingga sangat berbahaya,” tegasnya.
Pasal 70 mengatur bahwa Pengadilan Negeri dapat mengesampingkan putusan BANI apabila terjadi penipuan dan sebagainya. Namun, karena penafsiran pasal ini akhir-akhir ini menjadi lebih liberal atau kurang ketat, hal ini dimanfaatkan sebagai celah oleh pihak BANI yang kalah.
Ia kemudian mencontohkan, saat pemohon mengajukan permohonan perkara ke BANI, ia tidak menyertakan seluruh alat bukti karena dianggap tidak relevan dengan alat bukti.
Saat diputuskan, tergugat kemudian mendalilkan bukti-bukti yang dihilangkan merupakan upaya untuk menyesatkan partainya agar kalah. Hal ini kemudian dijadikan dalil untuk mengajukan gugatan pembatalan putusan BANI ke Pengadilan Negeri (PN).
Lebih lanjut, Otto mengatakan, jika mengacu pada asas cumbit probatio sebagaimana diatur dalam 163 HIR/283 RBG KUHAP dan Pasal 1863 KUH Perdata, maka wajib dibuktikan oleh pelapor. Dengan cara ini, pemohon dapat memutuskan bukti yang digunakan.
“Penggugat, pemohon membuktikan perkaranya. “Baik seseorang mengusulkan atau berasumsi sesuatu, dia harus membuktikan dalilnya,” ujarnya.
Banyak yang menafsirkan Pasal 70 sebagai ancaman terhadap eksistensi BANI. Alasannya, investor, pengusaha, dan pihak lain enggan menggugat BANI karena keputusannya bisa digugat dan dibatalkan di pengadilan biasa.
“Kemudian semua perkara BANI akan diputuskan dengan pembatalan oleh pengadilan negeri. Nah, ini akan sangat berbahaya,” ujarnya.
Atas dasar itu, Otto Hasibuan meminta Mahkamah Agung (MA) memberikan perhatian khusus untuk memperketat penafsiran Pasal 70. Sementara itu, ketika ditanya apakah undang-undang tersebut perlu diubah, kata Profesor. Otto menekankan hal ini harus sangat hati-hati. Selanjutnya, beberapa pasal Mahkamah Konstitusi (MK) telah diperiksa.
“Saya akan mencoba menyarankan bagaimana menafsirkan penipuan yang terdapat dalam Pasal 70, karena maknanya bisa sangat ambigu,” kata Otto Hai=ssibuan, Ketua Umum (Ketum) DPN Peradi, sementara itu. Konferensi Pendidikan, Rujukan, Pengawasan Pengacara Asing dan Pendidikan Profesi Spesialis yang diselenggarakan oleh Bapak Yunus Edward Menik di DPN Peradi.
“Ini sangat menarik karena subjeknya adalah arbitrase dan mendapat perhatian luar biasa dari hampir 1.600 peserta,” kata Edwards, moderator konferensi.
Dijelaskannya, hal ini merupakan pendidikan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Kejaksaan hingga Perradi sebagai single bar organisasi advokat.
“Pendidikan ini dilanjutkan oleh Perad,” ujarnya.
Ketua DPN Peradi hari itu, R Dwiyanto Prihartono, menghadirkan praktisi arbitrase internasional dan berkualifikasi tinggi sebagai pembicara, antara lain Karen Mills dari Kantor Hukum Karim Syah dan Theodore Bakker dari kantor Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR). . Selain itu Rektor Universitas Umum Ahmed Yani (Unjani), Sima, Hikmahanto Juana.
“(Materi-materi ini) penting dalam praktik. Penting untuk menjadi latar belakang pemikiran dan pengetahuan kita,” ujarnya.