geosurvey.co.id – Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan hujan buatan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta telah dihentikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Permintaan Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk melakukan rekayasa cuaca dengan TMC sangat sulit dilakukan karena tidak ada kemungkinan awan mendung.
Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dengan hujan buatan untuk mengurangi polusi udara di Jakarta sudah tidak berfungsi lagi. Ada cara lain, tapi berbahaya.
Sebelumnya BRIN bekerja sama dengan BNPB melakukan tabur garam atau NACL di wilayah Jabodetabek pada Minggu (20 Agustus 2023).
Sayangnya, upaya tersebut belum maksimal dalam mengurangi curah hujan di wilayah Jakarta khususnya.
Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menunda koreksi cuaca di Jabodetabek hingga menunggu informasi terkini dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Kami masih menunggu informasi terkini dari BMKG untuk melihat apakah masih ada ruang perbaikan karena jika dipaksakan hasilnya tidak akan maksimal,” kata Koordinator Lab Manajemen TMC BRIN, Budi Harsoyo, Selasa (22 Agustus 2023).
Seperti diketahui, fakta terpilihnya DKI Jakarta sebagai kota paling tercemar di dunia menjadi sorotan media asing.
Jakarta diketahui secara konsisten menduduki peringkat 10 paling tercemar di dunia sejak Mei.
Data harian dari situs IQ Air mencatat, Jakarta merupakan kota ke-4 di dunia dengan tingkat polusi udara tertinggi saat ini.
Sektor transportasi tercatat menyumbang polusi udara terbesar yakni sekitar 32-41%, sedangkan sektor industri sebesar 14%.
Berdasarkan pengukuran partikulat atau PM 2.5, yaitu partikel udara yang berukuran lebih kecil dari satu mikrometer, skor PM 2.5 di Jakarta adalah 102.
Sementara itu, kadar sulfur dioksida atau SO2 yang merupakan polutan akibat pembakaran minyak, gas, dan batu bara di Jakarta mencapai 54 atau mendekati rata-rata. Mengapa sulit mengurangi curah hujan di Jakarta? Awan gelap menutupi langit Jakarta, Kamis (11/2/2016). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim hujan tahun ini akan terjadi pada pertengahan Februari.
Diakui Budi, sebagian wilayah Jakarta kesulitan mendapatkan hujan akibat kekeringan dan fenomena El Nino.
Kombinasi keduanya membuat peluang hujan di Indonesia, termasuk Jakarta dan Jawa, secara umum sangat rendah, kata dia.
Selain itu, alasan lainnya adalah karena parameter cuaca lainnya, kelembaban udara di lantai atas Jakarta masih kering sehingga tidak menyebabkan terbentuknya awan.
Selain itu, energi pengangkatan massa udara di Jakarta juga sangat rendah, hanya dalam 3 hari yaitu dari 200 menjadi 300 saja. Walaupun hujan menimbulkan awan konvektif, namun nilainya masih berkisar antara 1500 hingga 2000, bahkan 3000 jika terjadi hujan. disertai petir. , Hal ini menyebabkan sulitnya menemukan awan yang mampu menghasilkan hujan,” jelas Budi. Ada skenario lain untuk mengurangi polusi udara di Jakarta, namun penuh bahaya. Gedung-gedung diselimuti kabut asap karena pencemaran udara di Jakarta pada 16 Agustus lalu. 2023. (Foto oleh Yasuyoshi CHIBA/AFP) (AFP/YASUYOSHI CHIBA)
Pembuangan stormwater dianggap sebagai cara yang lebih efektif untuk mengurangi polusi udara.
Perubahan cuaca serupa terjadi pada tahun 2019.
Saat itu, muncul tiga skenario teknologi perubahan iklim yang bisa digunakan untuk memprediksi polusi udara di Jakarta.
Skenario pertama adalah penyemaian awan garam NaCl pada saat terdapat awan yang berpotensi menghasilkan hujan seperti yang terjadi mulai Minggu, 19 Agustus 2023.
Namun jika hal ini tidak memungkinkan, TMC dapat diimplementasikan menggunakan skenario berikutnya.
Seperti skenario 2019, jika hujan buatan dengan penyemaian NACl gagal, ada rencana “mengganggu” stabilitas lingkungan.
Hal ini dilakukan apabila tidak terdapat potensi awan maka lapisan inversi dihilangkan dengan menyemai lapisan inversi tersebut dengan es kering agar tidak stabil. TMC – Pejabat menambah garam pada konsulat untuk menerapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Selasa (24 September). Pesawat Hercules TNI AU bertugas menanam awan atau hujan buatan yang langsung menyebarkan empat ton garam di beberapa lokasi di Riau. Tribun Pekanbaru/Doddy Vladimir (/)
Menurut Budi Harsoyo, caranya adalah dengan menaburkan bahan semai berupa es kering pada ketinggian tertentu di udara.
Ada awan yang membentang seperti karpet panjang.
Hal ini terjadi karena tidak adanya perbedaan suhu pada titik ketinggian tersebut atau isoterm, yang kemudian menimbulkan lapisan inversi.
“Nah ini yang akan kita ganggu, seolah-olah dibuka agar pencemar yang menumpuk di sekitar wilayah Jakarta terus meningkat,” kata Budi.
Namun metode penyesuaian musim tanpa hujan belum siap diterapkan oleh manajemen TMC BRIN.
Tim BRIN masih perlu merancang dan berkonsultasi untuk memasang es kering di kabin pesawat.
“Es kering ini mengandung CO2. Jika pengemasan dan penanganan pesawat tidak hati-hati, awak pesawat bisa kehabisan oksigen atau hipoksia,” ujarnya.
Menurut Budi, ada alternatif bahan benih yang bisa diuji dan lebih berpeluang diterapkan: menggunakan kapur tohor.
Bedanya, es kering mengkondisikan udara menjadi lebih dingin, sedangkan kapur tohor sebaliknya mengkondisikan udara menjadi hangat.
Namun prinsipnya sama, yaitu mengontrol suhu pada lapisan isotermal pada ketinggian tertentu hingga merusak kestabilan atmosfer, kata Budi.
Kemudian, berdasarkan arsip berita geosurvey.co.id, pada tahun 2019 juga muncul skenario penyemprotan air dari dalam tanah menggunakan Ground Fog Generator yang dipasang di 10 lokasi di daerah berangin.
Air disemprotkan oleh pesawat dari darat ke atmosfer.
Tujuan dari penyemprotan air adalah untuk mengikat kontaminan yang ada.
Operasi perubahan cuaca di Jakarta juga didukung TNI AU dari skuadron 4 Pangkalan Abdurachman Saleh, Malang, melalui persiapan skuadron CASA.
(geosurvey.co.id/Rina Ayu/Larasati Dyah Utami/Anita K Wardhani) (TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)