Pemerintah Indonesia terus melakukan evakuasi dan pemulangan WNI yang tinggal di Lebanon selama konflik militer dengan Israel.
Pada Senin (7/10), 40 WNI berhasil dievakuasi dan semuanya tiba di Bandara Soekarno-Hatta.
Evakuasi dilakukan secara bertahap, dan sejak KBRI mengumumkan keadaan darurat pada Jumat pekan lalu, hingga saat ini sudah 65 WNI yang berhasil dievakuasi dari Lebanon.
Menurut Kompas, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI), saat ini terdapat 116 WNI di Lebanon. Mereka menolak membubarkan diri karena berbagai alasan.
Ada pula yang berpendapat hal tersebut karena mereka menikah dengan warga negara Lebanon, tidak bisa meninggalkan keluarga, masih berstatus pelajar, atau karena masalah pekerjaan.
“Mayoritas memilih tinggal di sana karena alasan pribadi,” kata Judah. Pemerintah bertanggung jawab atas distribusinya
WNI yang menolak dideportasi dan kembali ke Indonesia telah menyerahkan surat tanggung jawab mutlak kepada KBRI Lebanon yang menyatakan akan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanannya.
Sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 1999, pemerintah bertanggung jawab melakukan evakuasi dan penyelamatan warga dari daerah berbahaya ke daerah aman.
Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional Universitas Padjadjaran, mengatakan penolakan pencabutan visa Indonesia terkait harus didasarkan pada alasan yang masuk akal dan logis.
“Pemerintah Indonesia harus menerima alasan kenapa dia tidak mau mudik, setelah berkali-kali benar-benar memahami dan berbicara dengannya, dia tetap tidak mau mudik, itu saja,” jelas Riza.
Cara privat menjadi salah satu pilihan yang perlu dipertimbangkan dalam upaya repatriasi, mengingat ada beberapa alasan WNI menolak proses repatriasi.
“Pastikan psikologis, kejiwaan dan keselamatan terlebih dahulu. “Sebelum hal itu terjadi, pemerintah harus melakukan segala kemungkinan untuk membuktikan mengapa mereka tidak mau mudik.” Proses difusi itu rumit
Meskipun proses pemukiman kembali telah mendapat dukungan dari pemerintah Lebanon, seperti bantuan imigrasi, namun proses repatriasi WNI masih merupakan proses yang kompleks, serta memerlukan strategi dan kehati-hatian untuk memastikan proses tersebut berjalan dengan aman.
Riza mengatakan kepada DW Indonesia, proses pemulangan WNI dari negara konflik tidak hanya membutuhkan hubungan baik antar kedua negara. “Tidak mudah untuk pulang kampung, kita harus memilih jalur (negara) yang tidak bermusuhan dengan kita. Jadi inilah peran pemerintah Indonesia dalam mendampingi negara-negara transit. jelas Reza.
Riza juga mencatat pentingnya pemetaan risiko dalam upaya pemerintah memulangkan WNI, sekaligus mencatat konflik internal dan konflik antar kelompok di negara yang bersangkutan.
“Untuk itu kita membutuhkan diplomat yang paham bahasa daerah, dan mempunyai jaringan formal maupun informal dengan masyarakat setempat. Peran duta besar di sini sangat penting. Pesawat mungkin siap terbang, tapi avturnya ribet, atau ada misalnya, upaya untuk menyandera pilot: “Pada saat kritis seperti ini, kesetiaan satu orang berubah bagi semua orang.”
Sebab, menurut Riza, hal tersebut kecil kemungkinannya dan salah satu alasan masyarakat Indonesia menolak langkah tersebut adalah karena alasan keselamatan dan keamanan proses tersebut. Negara tidak bisa mengizinkannya
Penolakan pemerintah Indonesia untuk memulangkan dan memukimkan kembali sebagian WNI di Lebanon bukan berarti pemerintah boleh keluar.
Reza menegaskan, pemerintah harus terus menyediakan hotline dan shelter bagi WNI yang memilih tinggal di Lebanon, “dengan kode tentunya, dan KBRI harus siap setiap saat jika terjadi sesuatu yang benar-benar mengancam keselamatan jiwa. Disediakan exit plan atau dispersal plan yang jelas,” kata pakar hubungan internasional Universitas Pajajaran itu.
Redaktur: Agus Setiawan