Sepeninggal pemimpin Hamas Yahya Sinwar, tentara Israel secara tidak sengaja menyerbu gedung di Rafah
geosurvey.co.id – Media afiliasi Angkatan Darat Israel, stasiun radio Pasukan Pertahanan Israel (IDF), mengumumkan meninggalnya pemimpin Hamas Yahya Sinwar pada Kamis (17-10-2024).
Radio militer Israel menyebutkan Sinwar tewas dalam bentrokan bersenjata di kawasan Tal al-Sultan Rafah di selatan Gaza pada Kamis malam.
Bentrokan yang mengakibatkan tewasnya Sinwar terjadi subuh hari ini, demikian laporan yang dilansir Khaberni, Kamis malam.
Media Israel memberikan laporan rinci terbaru tentang kematian Yahya Al-Sinwar.
Bentrokan pertama diklaim terjadi ketika tentara Israel menyisir lingkungan Tal Al-Sultan di Rafah.
Dalam operasi ini, tentara Israel menyerbu sebuah gedung untuk menggeledahnya tanpa mengetahui sebelumnya bahwa Sinwar ada di dalam gedung tersebut.
“Itu adalah tembakan yang akhirnya membunuh Yahya Sinwar,” kata laporan itu.
Dilaporkan tiga orang tewas dalam bentrokan tersebut. Pemimpin Hamas Yahya Sinwar menghadiri parade bersama anggota Tentara Pembebasan Palestina di Kota Gaza, 30 Mei 2021. (Kredit: Ashraf Amra/Anadolu Agency)
Menurut pemberitaan lebih lanjut, tentara IDF kemudian mengambil jenazah tersangka Yahya Sinwar untuk diperiksa dan dipastikan kemiripan data dan DNAnya.
Berdasarkan bukti fisik seperti struktur gigi, media Israel membenarkan bahwa jenazah yang disita tentara Israel adalah jenazah Yahya Sinwar.
Foto oleh Yahya Sinwar
Di tengah curahan duka masyarakat Gaza, muncul sosok Yahya Sinwar sebagai simbol perjuangan.
Sebagai pemimpin politik Hamas di Gaza, Sinwar dikenal tidak hanya sebagai pemimpin, namun juga sebagai ‘seniman’ dalam arti yang lebih dalam.
Melalui strategi dan taktik, ia menyulap kisah perjuangan Palestina menjadi sesuatu yang sarat makna dan tujuan.
Setelah pertempuran Sinwar
Yahya Sinwar telah dikurung di penjara Israel selama dua puluh tahun dan sangat memahami konsekuensi dari penindasan.
Tak hanya membawa pengalaman pahit di balik jeruji besi, ia juga membawa harapan dan semangat juang.
Sinwar menggambarkan perlawanan sebagai seni, namun Banjir Al-Aqsa adalah sebuah mahakarya yang membangkitkan emosi dan menunjukkan keindahan di tengah tragedi.
Banjir Al-Aqsa:
Tanggal 7 Oktober menandai titik balik dalam sejarah perlawanan warga Gaza terhadap kolonialisme.
Di bawah komando Sinwar, militan Palestina berhasil menembus sistem keamanan canggih Israel dan menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Dalam waktu enam jam, mereka berhasil menghancurkan ratusan pos pemeriksaan militer, menyebabkan lebih dari seribu tentara Israel tewas dan ribuan lainnya terluka.
Prediksi Sinwar Terbukti
Keberanian Sinwar di depan umum saat meramalkan akan terjadinya banjir di masa depan ternyata benar adanya.
Dalam pidatonya yang disampaikan pada Desember 2022, Sinwar menekankan ancaman “banjir” yang tidak dapat dihentikan.
Ucapannya yang kala itu dianggap sebagai lelucon oleh banyak orang, kini menjadi kenyataan dan menunjukkan betapa serius dan terencananya operasi tersebut.
Yahya Sinwar bukan hanya seorang pemimpin; dia adalah simbol ketangguhan, perlawanan dan semangat juang rakyat Palestina.
Sebuah analisis yang dilakukan oleh Proyek Ancaman Kritis American Enterprise Institute, Institut Studi Perang dan CNN menunjukkan bahwa hampir setengah dari batalyon Hamas di Gaza utara dan tengah telah membangun kembali beberapa kemampuan tempur mereka.
Hal ini membantah klaim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa mereka telah berhasil menetralisir pejuang Hamas.
Sayap militer Hamas, yang dikenal sebagai Brigade Al-Qassam, dibagi menjadi 24 batalyon di seluruh wilayah, menurut tentara Israel.
Menurut perkiraan CTP dan ISW, pada tanggal 1 Juli, hanya tiga dari 24 batalyon tersebut yang tidak lagi mampu berperang secara efektif akibat kehancuran tentara Israel.
Delapan angkatan bersenjata yang efektif, mampu menjalankan misi melawan pasukan darat Israel di Gaza.
Sementara itu, tiga belas orang lainnya telah pergi dan hanya dapat melakukan serangan gerilya secara sporadis dan sebagian besar tidak berhasil.
Menurut sumber dan analisis militer Israel, batalyon di Gaza tengah adalah yang paling sedikit mengalami kerusakan di wilayah tersebut.
Sumber-sumber Israel mengatakan mereka belum cukup “menyelesaikan” batalion tersebut karena mereka diyakini menyandera banyak orang Israel.