geosurvey.co.id – Ukraina dengan tegas akan menolak usulan gencatan senjata dengan Rusia, jika tidak dibarengi dengan jaminan keamanan negaranya.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengaku sempat menolak gencatan senjata dengan Rusia, namun pada akhirnya justru saat gencatan senjata itulah Rusia mempersiapkan serangan yang lebih besar.
Ia mengungkapkan, kedua negara sebenarnya masih terikat gencatan senjata pada perang tahun 2014, ketika Moskow mencaplok Krimea.
Saat itu, terjadi perang saudara di Donbas antara warga Ukraina yang sebagian besar berbahasa Rusia dan mendukung Vladimir Putin, dan neo-Nazi yang didukung Ukraina pro-Barat pada 2013-2014.
Setelah aneksasi semenanjung di tenggara Ukraina, kedua negara menandatangani gencatan senjata pada tahun 2014, dan pada tahun 2024, Rusia kembali menginvasi Ukraina.
Menurut Ukrainaform, Zelensky mengatakan hal tersebut pada KTT Komunitas Politik Eropa di Budapest, Kamis (7/11/2024).
“Anda ingat bahwa kami melakukan gencatan senjata pada tahun 2014, ketika Krimea dan sebagian Donbas diduduki. Gencatan senjata diakhiri dengan persiapan untuk invasi besar-besaran. Hal ini menunjukkan bahwa gencatan senjata demi keamanan Ukraina berarti berlanjutnya pendudukan negara kami dan kehancuran kemerdekaannya,” kata Zelensky.
Menurutnya, penghentian tanpa jaminan yang ditawarkan sejumlah negara merupakan retorika berbahaya. Menurutnya, hal itu hanya akan menguntungkan Moskow.
“Mencapai gencatan senjata adalah model yang kami dengar di sini (di KTT Budapest – red.), dari Brasil, dari Tiongkok, dan penting bagi kami untuk mendengar dari Rusia,” kata presiden.
Ia mengingatkan, langkah selanjutnya setelah gencatan senjata tahun 2014 bukanlah mengakhiri perang, melainkan setidaknya pertukaran tawanan perang, namun hal itu tidak pernah terjadi. Zelensky menekankan, “Orang-orang dipenjara selama 10 tahun.
Itu sebabnya dia mengatakan bahwa pembicaraan mengenai gencatan senjata tanpa jaminan keamanan yang memadai adalah tidak profesional dan tidak bertanggung jawab. “Perlu ada rencana yang jelas,” kata Zelensky.
Brasil dan Tiongkok terus mendorong kedua negara yang bertikai itu untuk berdamai.
Mereka percaya bahwa perundingan damai dengan niat baik adalah satu-satunya solusi yang paling tepat untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Brasil dan Tiongkok juga meminta semua pihak untuk mematuhi tiga prinsip deeskalasi, yaitu tidak memperluas medan perang, tidak meredakan pertempuran, dan tidak menantang salah satu pihak.
Namun Ukraina mencurigai ada motif di balik kedua seruan perdamaian tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa Brasil dan Tiongkok merupakan anggota BRICS, sekelompok negara yang dipimpin oleh Rusia, Zelensky menilai ada agenda di balik proposal perdamaian tersebut.