geosurvey.co.id – Status tersangka mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasi Lembong alias Tom Lembong kini menjadi perbincangan kontroversial di kalangan masyarakat.
Tom Lembong sudah lama diketahui ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagun) sebagai tersangka kasus impor gula.
Namun, belum bisa dipastikan apakah dana yang mengalir ke Tom Lembong berasal dari dugaan korupsi impor gula.
Selain itu, Tom Lembong juga ditetapkan sebagai tersangka atas perannya dalam merumuskan kebijakan impor gula di saat terjadi surplus gula dalam negeri.
Banyak pihak yang mempertanyakan apakah seseorang benar-benar bisa dianggap tersangka hanya karena berperan dalam pengambilan kebijakan.
Kecurigaan adanya eksploitasi politik dalam skandal korupsi impor gula pun muncul.
Menanggapi kontroversi tersebut, Kejaksaan Agung pun menegaskan seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi meski tidak terbukti menerima dana tersebut.
Hal itu diungkapkan Abdul Kohar, Kepala Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidus) Kejaksaan Agung.
Seperti dilansir Kompas.com, Jumat (11/1/2024), Abdul Khokhar mengatakan, “Penetapan tersangka tindak pidana korupsi ini berdasarkan Pasal 2 dan 3 bukan berarti tidak perlu ada yang menerimanya.”
Abdul Khokhar menjelaskan, apabila seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan orang lain, maka dapat memenuhi unsur pidana korupsi.
Abdul Khokhar menjelaskan: “Jika suatu perbuatan melawan hukum dilakukan atau kekuasaan disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain atau masyarakat, maka unsur pidananya sudah terpenuhi.”
Lebih lanjut Abdul Kohar menyatakan, penyidikan kasus Tom Lembong baru saja dimulai dan prosesnya masih panjang.
Kejaksaan Agung kini tengah berupaya mengungkap seluruh aspek terkait kasus korupsi ini.
“Penyidikan ini masih baru dan baru dua hari Tom Rembon ditetapkan sebagai tersangka.”
Prosesnya masih panjang dan tujuan kami memperjelas semua aspek yang relevan sesuai unsur pasal tipikor, jelas Abdul Khokhar.
Fokus penyidikan impor gula Kejagung saat ini mencakup periode 2015 hingga 2016 saat Tom Lembong menjabat Menteri Perdagangan.
Namun, Abdul Kohar tidak menutup kemungkinan bahwa penyidik akan menyelidiki keterlibatan pejabat lain di kemudian hari.
“Saat ini fokus penyidikan adalah pada periode 2015-2016. Seiring berjalannya waktu, tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan pengujian terhadap subjek-subjek yang terlibat dalam kebijakan impor gula pada periode berikutnya juga.” Terima kasih atas kesabaran Anda. Kami akan melanjutkan penyelidikan kami,” tambah Abdul Kohar. Kejaksaan Agung mendalami kemungkinan aliran dana ke Tom Lembong dalam kasus impor gula. Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong ditangkap di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (29/10). Dia ditahan atas tuduhan korupsi. /2024). (geosurvey.co.id/Ilham Lian Pratama)
Kejaksaan Agung menetapkan Thomas Torikasi Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka kasus impor gula.
Dalam hal ini, Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada tahun 2015 hingga 2016 dan menginisiasi kebijakan impor gula pada saat cadangan gula dalam negeri masih mencukupi.
Akibat kebijakan impor gula tersebut, negara mengalami kerugian hingga Rp 400 miliar.
Meski memperkirakan total kerugian negara akibat skandal impor gula, Kejagung belum bisa memastikan apakah dana tersebut akan mengalir ke Tom Lembong.
Pihaknya masih mendalami hal tersebut, kata Harli Siregar, Kepala Kejaksaan Agung.
Namun yang jelas, Kejagung akan terus menghitung total kerugian negara dan dugaan aliran keuangan dalam kasus impor gula ini.
“Adapun kerugian keuangan negara yang dilaporkan saat ini akan terus dihitung untuk diketahui apa sebenarnya.”
“Dan aliran dananya juga akan didalami karena kalau dilihat, tersangkanya adalah regulator bersama PT PPI dan perusahaan-perusahaan tersebut.”
“Tentunya akan terus didalami, misalnya apakah ada unsur arus kasnya,” kata Hari, Kamis (31/10/2024). duduk dalam kasus impor gula
Kejaksaan Agung sebelumnya mengungkapkan, pada tahun 2016, Tom Lembong menandatangani surat perintah untuk PT PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia).
Surat tersebut berisi seruan untuk meningkatkan stok gula dalam negeri dan menstabilkan harga gula.
Hal ini termasuk bekerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah gula pasir murni impor menjadi 300.000 ton gula pasir putih.
Hal ini terjadi karena Indonesia dikabarkan mengalami kekurangan gula putih sebanyak 200.000 ton pada tahun 2016.
Charles Citrus, Direktur Pengembangan Usaha PT PPI, kemudian dituduh berkolusi dengan delapan perusahaan swasta untuk melakukan impor.
Setelah impor, delapan perusahaan swasta mengolah gula pasir mentah menjadi gula pasir putih seolah-olah gula tersebut dibeli oleh PT PPI.
Padahal, gula ini biasa dijual swasta melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, lebih tinggi dari harga eceran maksimal Rp 13.000/kg.
Kerja sama mereka disebut-sebut kemudian merugikan negara sebesar Rp 400 miliar.
Berdasarkan hal tersebut, Kejagung masih berupaya menelusuri detail aliran dana dalam kasus impor gula ini.
Kenapa PT PPI harus dibeli di atas HET (Harga Eceran Tertinggi) lalu dijual (dijual swasta)? diperlukan?”
“Misalnya dia menghasilkan uang di delapan perusahaan itu. Jadi, misalnya aliran dana ke seseorang? Nah, itu tergantung informasi yang berkembang,” jelas Khali.
Pak Hari menegaskan, penyidikan Kejaksaan Agung atas peristiwa impor gula ini masih terus berjalan.
Oleh karena itu, ia meminta masyarakat menunggu perkembangan lebih lanjut atas kasus ini.
“Tadi saya sampaikan, uji coba ini belum berhenti. Ini sangat terkait dengan informasi yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Kita lihat nanti,” tambah Hari.
(geosurvey.co.id/Faryyanida Putwiliani)(Kompas.com/Kiki Safitri)
Baca berita lainnya terkait skandal impor gula.