Laporan jurnalis Tribannews.com, Aishya Narsansi
geosurvey.co.id, JAKARTA- Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, sekitar 970 juta orang di dunia hidup dengan gangguan jiwa.
Ironisnya, penelitian kolaboratif antara WHO dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa 15 persen pekerja dewasa menderita gangguan mental.
Ada banyak alasan mengapa pekerja rentan mengalami gangguan kesehatan mental.
Hal ini antara lain tuntutan kerja yang semakin meningkat, lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, dan lain-lain.
Nah, besok adalah hari Senin, nah itu artinya para pekerja mulai bergelut dengan pekerjaan dan kembali ke dunia nyata. Yuk, jaga kewarasan agar kita bisa sehat mental.
PSIKOLOGI RUMAH SAKIT PANDOK INDA – Bintaro Jaya Jane Cindy Linardi, M.P.S., S.P.S. Para pekerja juga berbagi cara terbaik menjaga kesehatan mental di tengah tuntutan pekerjaan yang semakin meningkat.
Pertama, ketahui kapan harus membatasi diri Anda berdasarkan beban kerja yang Anda emban.
Kedua, luangkan waktu untuk diri sendiri setelah pulang kerja atau di akhir pekan.
Ketiga, cukup tidur. Keempat, rutin berolahraga dan melakukan aktivitas yang sesuai dengan minat.
Di sisi lain, perlu Anda ketahui bahwa lingkungan kerja tidak kondusif bagi kesehatan mental karyawan.
“Ada banyak tanda bahwa lingkungan kerja tidak mendukung kesehatan mental karyawannya,” kata Jane.
Beberapa tanda tersebut adalah:
• Memberikan beban kerja yang berat bahkan di luar jam kerja.
• Kehadiran senioritas memberi tekanan pada junior (pegawai baru) untuk melakukan hal-hal di luar uraian tugasnya.
• Tidak mendukung pengembangan profesional.
• Tidak menghormati batasan pribadi karyawan (tanggal merah, akhir pekan, waktu liburan, dll).
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesehatan mental karyawan, kata Jane, perusahaan perlu melakukan sejumlah upaya.
Departemen Sumber Daya Manusia (HRD) atau memastikan bahwa Departemen Sumber Daya Manusia memiliki psikolog industri dan organisasi
Sehingga karyawan dapat melakukan konsultasi karyawan secara berkala.
Karena tidak semua perusahaan memiliki psikolog di bagian HR,” tutupnya.