geosurvey.co.id – Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjadi tersangka kasus korupsi impor gula.
Jaksa Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka atas perannya dalam pemberian izin impor gula pada 2015-2016 saat negara mengalami surplus stok gula.
Munculnya kasus Tom Lombon menimbulkan tekanan publik agar Jaksa Agung menyelidiki sekretaris perdagangan lainnya, terutama yang menjabat setelah Tom Lombon.
Salah satunya diungkap mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap.
Yudi mengatakan, Kejaksaan Agung harus bisa mengungkap apakah kebijakan impor gula yang dilakukan menteri selanjutnya sudah sesuai prosedur.
Kita juga perlu memverifikasi potensi tindak pidana sekretaris perdagangan lainnya terkait kasus korupsi impor gula ini.
“(Kejaksaan harus mengungkap) apakah kebijakan impor gula yang dilakukan menteri selanjutnya sesuai prosedur, bisa juga merupakan tindak pidana,” kata Yudi, dilansir Kompas.com, Jumat (1 Januari 2024).
Lebih lanjut, Yudy menilai Kejaksaan Agung tidak boleh berpuas diri dalam menetapkan kedua tersangka dalam kasus ini.
Keduanya masing-masing adalah Tom Lembong dan Direktur Pengembangan Bisnis PT PERusahaan Dagang Indonesia periode 2015-2016 (disingkat CS).
Yudi pun mendesak Kejaksaan Agung melanjutkan kasus tersebut agar mafia impor gula bisa diberantas.
Dengan membasmi mafia impor gula, masyarakat akan mendapatkan harga gula yang layak.
“Masyarakat akan mendapatkan harga gula yang layak dan tidak ada kerugian pendapatan negara,” kata Yudi. Pakar hukum UGM menyoroti kerugian negara
Profesor Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M. menyoroti kasus dugaan korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong sebagai tersangka
Tom Lembong dititipkan ke Rutan Salemba Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (29 Oktober 2024).
“Saya kira kasus Tom Lombong ini perlu diusut terlebih dahulu. Salah satunya, ditinjau dari Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, apakah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan?” kata Mohamed Fatashira Muhammad Fatahillah Akbar pada Rabu (30 Oktober 2024).
Ia mengatakan, kerugian negara berasal dari keuntungan yang diperoleh perusahaan swasta yang menerima gula batu mentah impor, berdasarkan siaran pers yang dikeluarkan Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung.
“Hal ini harus dilihat karena yang membuat perusahaan kaya tidak selalu merugikan keuangan negara,” jelasnya.
Akbar menanyakan siapa yang menghitung kerugian keuangan negara, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa pihak berwenang menghitung secara efektif dan akurat jumlah kerugian yang dituduhkan dalam kasus tersebut, dan bukan hanya perkiraan yang dibuat oleh penyelidik atau jaksa.
“Dalam hal ini yang kaya adalah perusahaan swasta karena delapan perusahaan swasta ini mendapat Rp 400 miliar.”
Padahal harus dilihat juga bahwa kerugian tersebut bukan merupakan kerugian ekonomi langsung bagi negara, tetapi juga kerugian ekonomi langsung bagi PT PPI yang merupakan BUMN, ujarnya.
Akbar lantas berasumsi, kerugian yang dialami Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut masuk dalam kategori kerugian nasional total.
“Sebenarnya itu juga harus dipertimbangkan kembali. Berapa banyak uang yang diinvestasikan negara dan sebagainya,” kata Akbar.
(geosurvey.co.id/Faryyanida Putwiliani/Theresia Felisiani) (Kompas/Syakirun Ni’am)
Baca berita lainnya terkait kasus impor gula.