TribuneNews.com, Jakarta – Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) meyakini pemerintahan baru Presiden Prabowo Subiano telah bergerak mengambil tindakan terhadap serangkaian kasus hukum palsu yang akan menghambat akses terhadap keadilan di masa depan. .
Demikian kesimpulan PBHI setelah melakukan penelusuran publik terhadap beberapa kasus dan putusan pengadilan mengenai keadaan sebenarnya dalam proses penangkapan (OTT) terhadap 3 hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang mendalangi putusan Ronald Tanur yang berujung pada mantan. -O.TT Pejabat senior Mahkamah Agung
Pemeriksaan umum PBHI merupakan pemeriksaan atau peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang dilakukan secara terbuka.
Ada tiga pemeriksa ahli hukum pidana yakni Rocky Marboon, Vidya Prahasasita, dan Ahmed Sofian.
Ketua Dewan Pengurus Nasional PBHI Julius Hebrewu mengatakan, penyelidikan publik PBHI terhadap kasus Agus Utoyo, Tengku Heidi Safinah, dan Alex Denny jelas menemukan beberapa kejanggalan.
Kasus Alex Denny tidak lepas dari kasus Agus Utoyo dan Tengku Heidi Safinah yang didakwa melakukan peristiwa atau perbuatan yang sama namun menghasilkan putusan yang terpisah dan bertentangan, ujarnya akhir pekan ini.
Alex Denny merupakan mantan anggota parlemen Kemenpan-RB, dalam perkara yang disidik Pengadilan Negeri (PN) Bandung dengan nomor perkara 163 K/Pid.Sus/2013 berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) RI tahun 2013. digantung. ) pada tahun 2006.
Kasus ini kembali mencuat pada awal Juli 2024 ketika Alex Denny ditangkap petugas imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten usai mendarat di Indonesia usai terbang dari Italia.
Kasus ini mempertanyakan tujuan dari proyek Pedoman Kerja Tertentu (DJM) karena selama 11 tahun PBHI menemukan banyak kejanggalan dalam administrasi peradilan, hukum acara, bahkan dalam penyidikan kasus, hingga pada substansi putusan. .
“PBHI menemukan perbedaan komposisi majelis hakim dan masa pemeriksaan di tingkat banding dan kasasi yaitu lima tahun sejak 2008 hingga 2013. Lebih lanjut, ditemukan tidak mengikuti aturan transparansi administrasi” lanjutnya.
PBHI menilai belum ada satupun putusan terhadap Alex Denny yang diunggah ke website Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri), Banding, dan Kasasi, Mahkamah Agung, atau Pengadilan Negeri (SIPP), kecuali putusan kasasi Alex Denny yang dieksekusi, yaitu 8 orang keluar. Dari 9 kalimat (dari 3 terdakwa) yang sengaja disembunyikan.
Memang ada kejanggalan yang dicatat PBHI, fakta persidangan menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan, sehingga kedua terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Heidi Safinah dinyatakan bebas, namun anehnya sama saja. Buktinya, Alex Denny divonis bersalah.
PBHI menilai disparitas putusan merupakan bukti kuat adanya pelanggaran penerapan Pasal 55 (inklusif) undang-undang yang juga tertuang dalam kebijakan internal Mahkamah Agung.
Hasil pemeriksaan PBHI menetapkan tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang disangkakan dalam proses pengadaan dan tidak terbukti dalam penyidikan kasus Agus Utoyo dan Tengku Heidi Safinah di tingkat banding dan kasasi.
Lebih lanjut, lanjutnya, pekerjaan yang dilakukan Alex Denny sudah dilakukan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya laporan atau audit internal PT. Telkom menyatakan pelaksanaan pekerjaan telah sesuai ketentuan dan berjalan lancar.
Kasusnya bermula pada tahun 2003, ketika PT Telkom, Tbk mempekerjakan PT Paradhya Mitra Karti (PT PMK) di bawah pimpinan Alex Denny untuk melakukan analisis jabatan dalam rangka pemberdayaan dan pengelolaan sumber daya manusia.
Pengadaan dan negosiasi dipimpin oleh Agus Utoyo dan Tengku Heidi Safinah selaku perwakilan PT Telkom, dan nilai pekerjaan yang disepakati mencapai Rp5,7 miliar. Masa jabatan Alex Denny sebagai direktur PT PMK berakhir pada Juni 2004.
Proyek ini diselidiki Kejaksaan Negeri Bandung pada tahun 2006 atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan manipulasi dalam pelaksanaan pekerjaan. Pada tahun 2007, ketiganya, Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah serta Alex Denny, dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Bandung berdasarkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999.
Namun kejanggalan muncul ketika kasus tersebut diusut secara terpisah di tingkat banding, dimana Agus Utoyo dan Tengku Heidi Safinah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan, dengan dasarkan proses pengadaan berlangsung secara sah tanpa adanya penyalahgunaan hak. tingkat kasasi. Namun Alex Denny dinilai berbeda, divonis bersalah hingga mengajukan kasasi.