geosurvey.co.id – Jutek Bongso, pengacara narapidana Wina Cirebon, memanggil hakim Mahkamah Agung (MA) yang aneh setelah menolak memverifikasi nama PK kliennya.
Oleh karena itu, Mahkamah Agung menganggap dua putusan dalam kasus Vina sebagai dasar penolakan P.K.
Salah satunya adalah kurangnya bukti baru atau bukti baru.
Padahal, menurut Jutek, pihaknya mengungkap banyak fakta yang belum pernah terungkap sebelumnya.
Termasuk hasil mining mobile Sahabat Vidi. Diketahui, ada perbincangan antara VD dan Vina saat pembunuhan terjadi pada pukul 22.14.
Terkait hal ini, Jutek mengatakan bukti tersebut bukanlah hal baru dan hakim Mahkamah Agung menganggapnya aneh.
Aneh kalau hakim tidak mengatakan ini bukan hal baru, kata Jutek, Senin (16/12/2024) seperti dilansir Kompas.com.
Selain hasil unggahan ponsel Widi, Jutek juga menghadirkan saksi yang menyebut Vina dan Eki bukan korban pembunuhan melainkan meninggal karena kecelakaan.
Soal bantahan MA atas minimnya bukti baru, Jutek mengaku skeptis.
“Ini bukan hal baru, kan? Itu yang perlu kita tanyakan.
Selain itu, Jutek menegaskan, tidak ada satu pun saksi pendukung yang bisa menuntut narapidana melakukan pembunuhan berencana.
Dia juga membahas bahwa tidak ada bukti pasca kematian atau cedera yang mengkonfirmasi bahwa Vina dan Aki terbunuh.
Meski demikian, Jutek mengatakan para terdakwa kasus Vinay bisa mengambil langkah lain untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.
Jutek berharap penolakan MA terhadap PCC menjadi jalan bagi partai untuk melanjutkan perjuangannya.
“Kami berharap PK yang ditolak ini menjadi jalan bagi kami untuk melanjutkan perjuangan dan pada akhirnya membuktikan bahwa ketujuh narapidana tersebut tidak bersalah,” kata Jutek. Para terpidana kasus Vina tak menginginkan amnesti.
Jutek Bongso memberikan pengampunan kepada kliennya setelah MA menolak PK terhadap terpidana Wina Cirebon.
Namun, menurut Jutek, narapidana kasus Vinai ditolak meski sudah berulang kali diminta.
Jutek mengatakan alasannya adalah para narapidana menolak mengakui bahwa mereka adalah penjahat yang membunuh Vina dan Aki karena mereka tidak melakukannya.
Diketahui, salah satu syarat untuk meminta pengampunan adalah terpidana mengakui perbuatannya.
“Saya sudah dua kali bertanya kepada 20 narapidana di penjara dan saya sudah dua kali bertanya pada diri sendiri, ‘Apakah kamu tidak mau pengampunan?'” kata Jutek.
Jutek mengungkapkan, narapidana lebih memilih mati di penjara ketimbang mengaku sebagai dalang pembunuhan Vina dan Aki.
“Mengapa mereka tidak mau dimaafkan?” kata Jutek. “Karena salah satu syarat untuk memaafkan adalah mereka harus mengakui perbuatannya.”
“Jika kami tidak melakukannya dan mengaku melakukan pembunuhan, lebih baik mati dan membusuk di penjara,” kata mereka. Mereka tidak mau (berlatih). Ia menambahkan, ada dua alasan Mahkamah Konstitusi menolak terpidana kasus Vina
Sebelumnya, Juru Bicara MA Ianto menjelaskan dua hal saat MA menolak terpidana PK dalam kasus Vinai.
Pertama, bukti-bukti baru yang diajukan para terpidana dipastikan tidak diikuti.
Sebab novum tidak dianggap sebagai bukti baru.
“Barang bukti baru (novum) yang diajukan narapidana bukanlah alat bukti baru berdasarkan Pasal 263 Bagian 2 KUHAP,” kata Yanto dalam jumpa pers, Senin, di Gedung Mahkamah Agung.
Pertimbangan kedua, lanjut Ianto, tidak ada kesalahan judex facti atau juris juris di pihak juris yang mengadili para terpidana.
Menyusul bantahan KUHP, Ianto mengatakan hukuman sebelumnya terhadap tujuh narapidana kasus Vina Cirebon masih berlaku.
“Iya, keputusan sebelumnya dianggap sah karena ada penolakan, jadi keputusan itu diambil,” ujarnya.
Mahkamah Agung pada Senin menolak PK tujuh terpidana kasus Vina Cirebon.
Ketujuh narapidana tersebut adalah Jaya, Supriyanto, Eka Sandi, Eko Ramadhani, Hadi Saputra, Sudirman, dan Rivaldi Aditya Vardhana.
Perkara tersebut terbagi dalam perkara 198/PK/PID/2024 yang melibatkan narapidana Eko Ramadhani dan Rivaldi Aditya.
Sedangkan nama narapidana Eka Sandi, Hadi Saputra, Sudirman, Supriyanto, dan Jaya tercantum dalam dokumen 199/PK/PID/2024.
Meski materi perkaranya bervariasi, sidang PK dipimpin oleh Burhan Dahlan, ketua dewan juri.
Dalam kasus ini, tujuh narapidana sebelumnya telah dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam kasus ini.
Selain tujuh terpidana, MA juga menolak KUHP yang diajukan Saka Tatal dalam kasus pembunuhan Veena dan Eki.
Saka Tatal sendiri divonis delapan tahun penjara.
(geosurvey.co.id/Pravitri Retno w/Fahmi Ramadan, Kompas.com/Irfan Kamil)