geosurvey.co.id, JAKARTA – Aktivis lingkungan hidup Eli Rubin menilai kehadiran smelter di Bangka Belitung membawa perubahan signifikan dalam pengelolaan sumber daya pertambangan.
Ely mengatakan, ada dampak positif terhadap berkurangnya penyelundup ke luar negeri. Selain itu, dengan adanya smelter, masyarakat bisa ikut serta dalam aktivitas penambangan.
“Yang pasti keberadaan perampok dan asap semakin berkurang. Hal ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi semakin meningkat dan monopoli pertambangan PT Timah sudah tidak ada lagi. Sekarang masyarakat bisa (menambang) juga,” kata Eli.
Hal itu disampaikannya dalam keterangannya sebagai saksi ahli kasus korupsi sistem tata niaga timah PT TImah bersama terdakwa korupsi PT Timah Tbk Harvey Moise, Reza Andriansyah, dan Supartha di Tpikor Pengadilan Jakarta, Senin (25/11/2024).
Menurut dia, sebelum adanya smelter, PT Timah dominan dalam pengelolaan timah di Bangka Belitung.
Namun, seiring dengan diperbolehkannya perusahaan swasta untuk berpartisipasi, maka terciptalah opsi kerja sama yang memungkinkan masyarakat mengelola tambang.
“Jika masih ada pihak swasta, maka akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola pertanian sehingga kesejahteraannya meningkat,” lanjutnya.
Kepemilikan smelter juga menstabilkan harga timah dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar gelap.
Kolektor atau CV yang bekerja harus mempunyai organisasi yang sah dan membayar pajak, sehingga meningkatkan partisipasinya dalam pemerintahan daerah dan negara.
Namun, tantangan masih tetap ada. Penyelundupan timah ilegal masih terjadi meski mengalami penurunan.
“Smockle masih ada. Seseorang tertangkap kemarin. Yang kami takuti adalah mereka yang menambang tanpa izin, merusak lingkungan, dan menjual produknya ke luar negeri,” ujarnya.
Kini, dengan adanya kasus korupsi di PT Timah, banyak perusahaan smelter yang terpaksa menghentikan operasionalnya. Hal ini berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tak hanya itu, para penambang ini juga mulai berkurang karena sulitnya mendapatkan izin pertambangan, serta berkurangnya jumlah smelter yang bekerja.
Hal ini, lanjut Ely, berdampak pada kemampuan masyarakat dan berdampak pada aspek sosial, termasuk angka kriminalitas.
“Dulu masyarakat masih leluasa menambang timah, masyarakat bahkan tidak berani membawa sepeda yang ada kuncinya, sekarang apalagi sepeda dibawa bensin sebanyak 3 kg. Artinya ada perbedaan besar di pasar. tingkat kejahatannya,” ujarnya.
Namun kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas, terutama bagi mereka yang bergantung pada pertambangan.
Ketua Yayasan Rehabilitasi Alam Bangka juga menekankan pentingnya kerja sama antara pemilik lahan pertambangan dan pemegang izin pertambangan (IUP) agar masyarakat dapat ikut serta dalam hukum pertambangan.
“Tahun 2018 masih banyak yang gali. Melalui konsep kerja sama ini, kita bisa menyelamatkan mereka yang tidak paham hukum. Yang penting mereka bisa bekerja tanpa mengekspor. Produknya diselundupkan,” jelasnya.
Perlindungan lingkungan juga merupakan sebuah isu. Reklamasi bekas tambang dilakukan sewaktu-waktu untuk memulihkan kawasan yang rusak. Lahan bekas tambang banyak digunakan untuk berbagai infrastruktur, termasuk kantor pemerintahan.
“Di bekas kawasan pertambangan itu terdapat dinas pemerintah dan kepolisian daerah. Selain itu, banyak juga lahan yang dijadikan kolam setelah dibangun,” imbuhnya.
Kehadiran smelter tidak hanya mengurangi penyelundupan dan memberikan stabilitas ekonomi, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan penambangan legal sekaligus memastikan kelestarian lingkungan melalui pemulihan yang bertanggung jawab.
Tantangan seperti kabut asap dan kejahatan masih memprihatinkan, namun langkah yang diambil menunjukkan kemajuan yang signifikan.