Laporan jurnalis geosurvey.co.id Danang Triatmoj
geosurvey.co.id, JAKARTA – Terbaring di ranjang, Shirley Tjoanda, istri mendiang Benny Lao, dengan tangan kanan masih terpasang infus, menemui jenazah suaminya yang dimakamkan di Rumah Duka RSPAD Gatot Subrot Sentosa, Jakarta. pada Senin (14/10/2024) malam.
Masih mengenakan gaun sakit dan topi medis berwarna hijau cerah, Shirley tiba di rumah duka dengan ambulans TNI milik RSPAD.
Dokter rumah sakit yang mendampingi Shirley mengingatkan kerabat setempat untuk tidak melakukan kontak fisik dengan pasien.
Orang-orang terkasih dan keluarga menyambut Shirley saat dia tiba di rumah duka. Sebuah suara menyemangati dia, “Bu, Bu.”
Shirley menjawab sambil tersenyum sambil melambaikan tangannya untuk memberi salam tanpa kontak fisik.
Dia kemudian didorong ke kamar di sebelah kanan peti mati suaminya. Di sana, Shirley memberikan pidato yang pada dasarnya mengucapkan terima kasih kepada kerabatnya atas dukungan moral yang begitu berharga bagi keluarga.
Shirley memamerkan kakinya yang dibalut perban mulai dari telapak kaki hingga lutut.
“Maaf, suaraku agak pelan karena obat pereda nyeri,” kata Shirley, yang tampak menahan air mata sambil melepaskan ikatan kakinya.
Shirley yang didampingi ketiga anaknya Edward, Edeline dan Edric mengaku selalu yakin suaminya yang selalu baik kepada orang lain itu akan berumur panjang.
“Saya selalu mengira Pak Benny berumur panjang karena beliau baik hati, selalu membantu orang, selalu memberi, bahkan kepada orang yang belum terlalu mengenalnya,” ujarnya sambil mengambil peti mati tersebut. .
Ia kemudian menceritakan bagaimana speedboat yang ia dan suaminya tumpangi meledak. Terbaring di ranjang, Shirley Tjoanda, istri mendiang Benny Laos, dengan lengan kanan masih terpasang infus, menemui jenazah suaminya yang dimakamkan di Rumah Duka RSPAD Gatot Subrot Sentosa, Jakarta, Senin (1014). /2024) malam/ Danang Triatmojo (Tribunnews/Danang Triatmojo)
Kunjungan tersebut merupakan bagian dari kampanye aktif Benny Laos pada Pilgub Malut 2024.
Awalnya, Shirley meyakinkan suaminya untuk membatalkan niatnya berkampanye untuk Taliban. Pasalnya, Kabupaten Taliban tidak memiliki sumber daya dan fasilitas umum yang memadai, bahkan apoteknya pun tidak memiliki obat-obatan seperti panadol.
Setelah meyakinkannya untuk kedua kalinya, mendiang Benny Laos mengatur agar Shirley pulang lebih cepat dari 4 hari hingga 2 hari pertama di Taliab.
Rombongan singgah di Bobong, di distrik barat Taliabu, untuk mengisi kembali persediaan makanan. Selama docking, speedboat lambung 72 Bela diisi bahan bakarnya. Mendiang Benny Laos dan Shirley ada di dalamnya.
Saat berada di kapal, Shirley awalnya berada di pinggir lapangan, duduk di samping mendiang Benny Laos. Karena dia menunggu lama, dia memutuskan untuk istirahat saja di kamarnya dan tertidur.
Ketika dia bangun, Shirley diberitahu bahwa kapalnya telah diisi bahan bakar. Namun saat bau bahan bakar tercium ke dalam ruangan, ada perasaan aneh.
Baunya bukan seperti bahan bakar biasa, baunya menggerogoti hidung, ujarnya. Saat dia bersiap untuk pergi, asistennya meminta Shirley untuk tetap di kamar karena bau bensin lebih menyengat di luar.
Tak lama kemudian kapal itu tiba-tiba meledak. Ledakan itu meledakkan sisi ruangan dan Shirley terlempar ke depan.
“Biasanya bahan bakar yang kita masukkan ke kapal bagus, saya tidak tahu kenapa kapal kali ini meledak,” ujarnya.
Saat itu, dia sedang berusaha mencari suaminya. Namun, dia tidak bisa menggerakkan kakinya karena luka bakar akibat ledakan tersebut. Kemudian mereka menyeretnya ke tanah.
Shirley dibawa ke puskesmas terdekat dan suaminya ke rumah sakit.
Jantung Benny Lao masih berdebar kencang saat menghampiri suaminya yang sedang dirawat. Shirley langsung berdoa agar suaminya selamat.
Namun, rumah sakit tempat Benny Laos dirawat tidak memiliki ruang gawat darurat. Peralatan pernapasan hanya sebatas pompa tangan, tidak ada inkubator atau peralatan darurat lainnya.
“Pak Benny denyut nadinya masih ada, tapi dia belum bisa bernapas sendiri. Kalau ada alat defibrilator, mungkin lain keadaannya,” kata Shirley.
“Aku berdoa tak mungkin Pak Benny datang ke sini,” bisik Shirley sambil menahan air mata.
Shirley penuh harapan ketika dia dijanjikan helikopter akan menjemputnya. Namun hari sudah gelap dan Taliabu tidak memiliki landasan yang sesuai, sehingga helikopter tidak dapat mencapai lokasi hingga keesokan harinya.
Ia khawatir karena suaminya hanya membantu dengan pompa sederhana. Sementara itu, mereka harus menunggu 15 jam lagi hingga helikopter bisa menjemput mereka.
Setelah 3 jam, tubuh Benny Lao hanya dengan bantuan pompa sederhana mulai menegang, wajahnya membiru. Dokter mengatakan dia tidak bisa memberikan perawatan karena rumah sakit kekurangan peralatan medis.
“Mereka tidak punya apa-apa di Taliban dan jalanan hancur,” kata Shirley.
Sebagai penutup, Shirley mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dirinya dan almarhum untuk kembali ke Jakarta.
Ia mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Maluku Utara dan meminta maaf. Shirley mengucapkan terima kasih atas sambutan hangat masyarakat Malut selama aktif berkampanye.
Shirley juga mengucapkan terima kasih kepada kerabatnya, termasuk Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldok yang menjadi rekan bermain golfnya bersama almarhum, dimana almarhum juga menjabat sebagai Pejabat Khusus KSP.
“Atas nama Pak Benny, saya mohon maaf karena tidak bisa memenuhi harapan masyarakat Malut,” ujarnya.
Shirley berkata, “Tuan. Atas nama Benny Laos, saya mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya karena telah menjadi bagian dalam kehidupan Bapak Benny Laos.
Setelah itu, Shirley pergi ke upacara keagamaan bersama keluarga dan kerabat dekatnya.
Setelah 50 menit, Shirley dibawa ke rumah sakit. Shirley sekali lagi dihibur oleh orang-orang yang dicintainya saat dia melewati halaman luar. Dia membalasnya lagi dengan ucapan terima kasih kepada ambulans.