Demikian dilansir jurnalis geosurvey.co.id Dennis Destryawan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) meminta PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex menunggu keputusan terkait Inkrah dan tidak terburu-buru melakukan pemutusan kontrak kerja (PHK) setelah dinyatakan pailit.
Hal itu diungkapkan Direktur Pembinaan Industri dan Kesejahteraan Sosial (PHI dan Jamsos) Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri.
Dalam wawancaranya dengan Tribunnews, Kamis, ia mengatakan: “Kementerian Tenaga Kerja telah meminta PT Sritex dan anak perusahaannya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga untuk tidak terburu-buru memecat karyawannya, hingga ada keputusan bulat atau Majelis Mahkamah Agung. ” (24/10/2024).
Lebih lanjut, menurut Indah, Kementerian Tenaga Kerja telah meminta PT Sritex dan anak perusahaannya untuk tetap membayar hak-hak pekerja, khususnya upah atau gaji.
Indah mengatakan, Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau semua pihak, terutama manajemen perusahaan dan SP, untuk menenangkan diri dan menjaga hubungan baik perusahaan.
Ia pun meminta PT Sritex segera menentukan langkah dan solusi kedua belah pihak.
“Fokus pada diskusi yang konstruktif, produktif, dan konstruktif,” lanjutnya.
Sebelumnya, pada Senin (21/10/2024), Pengadilan Niaga (PN) Semarang, Jawa Tengah resmi menyatakan PT Sritex pailit.
Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi mengatakan PT Sritex kemungkinan besar akan mengajukan banding atas keputusan tersebut.
Haruno mengatakan pada Kamis 24/10/2024: “Rupanya, tapi ini tidak diberikan dengan benar. Sepertinya akan diajukan banding.”
20 ribu pekerja berisiko dipecat
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) Ristadi mengatakan situasi di Sritex mengancam 20.000 pekerjanya.
Pada saat terjadi kegagalan, Ristadi menilai seringkali pekerja menjadi pihak yang paling rentan.
Selain itu, karena Sritex memiliki lebih banyak utang dibandingkan aset, karyawannya berisiko terkena PHK.
“Tentunya para pekerja akhir akan terkena PHK sekaligus tidak menerima pesangon karena barang yang dijual akan digunakan untuk membayar utang ke bank, pajak, atau pemasok. Biasanya pesangonnya tertunda.” ujar Ristad.
Ristad memiliki pengalaman dalam menangani hal-hal seperti itu.
Berdasarkan pengalamannya, jika perusahaan yang gagal memiliki lebih banyak utang daripada aset, karyawan hanya menerima sekitar 2,5% dari haknya.
Masih banyak kasus perusahaan lain yang diketahui Ristadi, yang karyawannya dipecat karena bangkrut dan tidak menerima gaji.
“Hak-hak pekerja hanya patut disayangkan. Akan sangat buruk jika kebangkrutan ini tidak dihentikan,” kata Ristad.
Ristadi mengaku mendengar kabar manajemen Sritex mengajukan banding untuk mencabut perintah pailit tersebut.
Namun jika upaya tersebut gagal dan terjadi kegagalan, maka dampaknya akan sangat buruk bagi karyawan.
Karyawan tidak hanya bisa dipecat, tapi juga kehilangan hak atas upah.
“Jika gugatan dibatalkan dan terjadi kebangkrutan maka akan berdampak pada seluruh karyawan Sritex,” kata Ristad.
“Sekitar 20.000 pekerja terancam dipecat dan tidak dibayar. Apa yang menimpa Sritex sungguh mengenaskan,” tutupnya.