geosurvey.co.id – Tahun depan, pemerintah disebut akan menerapkan skema Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multi tarif untuk barang atau jasa tertentu. Menurut informasi, PPN tahun 2025 akan dibagi menjadi tiga tarif.
Pertama, barang mewah yang dianggap tidak perlu bagi masyarakat umum atau tidak termasuk dalam kategori Pajak Penjualan Barang Mewah akan dikenakan tarif PPN sebesar 12 persen.
Kedua, barang nonmewah akan dikenakan tarif PPN sebesar 11 persen. Terakhir, ada barang dan jasa yang dibebaskan PPN (0 persen), seperti pangan, MKM, pendidikan dan kesehatan, angkutan umum, jasa keuangan dan asuransi, air bersih, dan listrik di atas 6.600 watt.
Kebijakan pemerintah menerapkan PPN multi tarif terus menuai kontroversi. Beberapa pihak menilai keputusan tersebut tidak memenuhi asas legalitas atau tidak berdasarkan norma hukum yang jelas.
Ario DP Irhamna, ekonom Institute for Economic and Financial Development (INDEF), mengatakan kritik terhadap PPN multitarif mungkin berasal dari kurangnya dasar hukum, implementasi dan kebijakan yang tidak tepat.
“Secara internasional, penerapan tarif ganda merupakan hal yang lumrah untuk mencerminkan keadilan pajak berdasarkan kemampuan membayar masyarakat,” kata Ario, Selasa (24/12/2024).
Oleh karena itu, untuk meredam perdebatan masyarakat mengenai skema PPN multitarif, Ario menyarankan pemerintah pusat mengambil kebijakan yang terstruktur dengan baik.
Misalnya, tarif yang rendah untuk barang kebutuhan pokok dan tinggi untuk barang mewah. Selain itu, Ario menjelaskan, PPN multitarif tidak bisa didasarkan pada branding karena PPN terkait dengan produk dan/atau jasa.
Sekadar informasi, skema multi tarif ini mengacu pada Pasal 7, Pasal 3 UU Peraturan Perpajakan, tarif PPN bisa diubah dari 5 persen menjadi 15 persen dan hanya diatur oleh pemerintah. aturan.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Tax Analysis Center Justinus Prastow.
“Sejak awal reformasi perpajakan tahun 1983, Indonesia menerapkan tarif PPN tunggal yang berlaku untuk semua barang dan jasa, kecuali barang khusus seperti emas dan tembakau yang dikenakan tarif berbeda,” jelas Austinus dalam wawancara dengan Tribun, Selasa (24/12).
Menurut Austinus, saat membahas RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah berencana menerapkan skema multi tarif, artinya tarif PPN barang dan jasa berbeda.
Dengan demikian, sejak berlakunya UU HPP, Indonesia resmi menerapkan PPN multitarif, setelah hampir 36 tahun menerapkan tarif tunggal. Kecuali untuk ekspor yang dikenakan PPN dengan tarif 0% karena prinsip yang menyatakan bahwa PPN hanya dikenakan atas konsumsi dalam negeri.
Tujuan penerapan tarif PPN yang berbeda atau multi-tarif adalah untuk memperlakukan konsumen secara adil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka.
Dengan demikian, barang yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat awam tidak akan dikenakan tambahan beban PPN. Tarif PPN yang lebih rendah sebesar 11 persen akan berlaku untuk sebagian besar barang yang banyak digunakan.