geosurvey.co.id, JAKARTA – Pembangunan Bendungan Kamtok di Dataran Tinggi Tibet meningkatkan ketegangan antara Tibet dan Beijing.
Proyek tersebut diberitakan di Hamrakura pada Kamis (2/1/2025) dan mendapat kritik dari masyarakat Tibet karena masalah lingkungan dan pembangunan.
Bagi warga Tibet, wilayah tersebut mewakili pelestarian budaya dan kebebasan beragama, sehingga sebagian orang melihat pembangunan bendungan sebagai pengikisan identitas mereka.
Ketegangan ini memuncak pada konflik berupa penindasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak Tiongkok.
Bendungan Kamtok, yang terletak di anak sungai Yarlun Tsangpo, adalah bagian dari strategi pembangkit listrik tenaga air dan pengelolaan air ambisius Tiongkok di Daerah Otonomi Tibet (TAR).
Secara resmi, Beijing menyebut proyek ini sebagai langkah penting menuju keamanan energi, pertumbuhan ekonomi, dan mitigasi perubahan iklim.
Namun, bagi banyak warga Tibet, pembangunan bendungan mempunyai dampak yang signifikan.
Kritikus berpendapat bahwa proyek tersebut telah menggantikan situs suci setempat dan mengganggu ekosistem Tibet.
Laporan Hamrakura menunjukkan bahwa upaya pemukiman kembali tidak disertai dengan kompensasi yang memadai, dan kurangnya sosialisasi dengan warga yang terkena dampak.
Banyak warga Tibet melihat hal ini sebagai contoh lain dari Beijing yang memprioritaskan kepentingan ekonomi dan politik dibandingkan masalah dalam negeri.
Selain itu, signifikansi keagamaan dan budaya di wilayah tersebut, dengan banyaknya biara dan tempat ibadah, telah menimbulkan pertentangan yang semakin besar. Aksi protes warga
Di wilayah di mana perlawanan masyarakat jarang terjadi dan seringkali menghadapi pembalasan brutal, protes terhadap bendungan Kamtok dipandang sebagai tindakan yang berani.
Dimulai dari sebuah pertemuan kecil di bulan November, protes tersebut dengan cepat berkembang seiring dengan tersebarnya berita ke seluruh kota.
Sambil meneriakkan slogan-slogan, membawa spanduk dan melakukan sembahyang tradisional, ratusan warga Tibet turun ke jalan menuntut penghentian segera proyek tersebut, menurut laporan baru BBC.
Protes ini menonjol karena pesannya. Para biksu dari biara-biara terdekat bergabung dengan para petani, penggembala, dan pemilik toko.
Pertunjukan solidaritas yang jarang terjadi ini menggarisbawahi rasa frustrasi dan kemarahan terhadap apa yang dianggap banyak orang sebagai pelanggaran terhadap negara dan budaya mereka.
Media sosial, meski disensor secara ketat, memainkan peran penting dalam meningkatkan protes.
Video dan gambar pendek tersebut menangkap emosi para pengunjuk rasa, memicu perdebatan di komunitas diaspora Tibet dan hanya menarik perhatian internasional yang terbatas.
Namun, aktivisme digital ini juga menempatkan pengunjuk rasa pada risiko yang lebih besar karena pihak berwenang Tiongkok terburu-buru memantau dan melacak perbedaan pendapat secara online.
Pemerintah Tiongkok tidak membuang waktu untuk menanggapi protes tersebut. Dengan mengerahkan pasukan paramiliter di wilayah tersebut, pihak berwenang melakukan tindakan keras seperti sebelumnya. Laporan saksi mata menggambarkan petugas keamanan memukuli pengunjuk rasa yang tidak bersenjata dengan tongkat, menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa dan menangkap puluhan orang.
BBC, mengutip sumber-sumber lokal, melaporkan bahwa banyak dari mereka yang ditangkap telah dipindahkan ke lokasi yang dirahasiakan, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan dan kesejahteraan mereka. Kelompok hak asasi manusia telah menyatakan keprihatinan bahwa para tahanan mungkin menghadapi penyiksaan atau hukuman penjara yang lama, sebuah nasib yang telah terjadi. telah dilakukan di masa lalu.
Media pemerintah sebagian besar diam mengenai kejadian tersebut, dan mencirikan protes tersebut sebagai insiden kerusuhan yang diorganisir oleh “perusuh.” Sebaliknya, platform media sosial Tiongkok menghindari referensi apa pun mengenai protes tersebut, dan menekankan upaya pemerintah untuk mengendalikan otonomi daerah Tibet.
Protes Kamtokdam dan tindakan keras yang menyusulnya menghidupkan kembali perdebatan mengenai perjuangan warga Tibet untuk mendapatkan otonomi dan hak-hak mereka. Selama beberapa dekade, Beijing telah menggunakan kombinasi insentif ekonomi, perubahan demografi, dan represi politik untuk menguasai TAR.
Meskipun strategi-strategi ini membawa pembangunan infrastruktur ke wilayah tersebut, strategi-strategi ini juga meminggirkan suara masyarakat Tibet dan mengganggu penghidupan tradisional.
Proyek berskala besar, termasuk pertambangan dan pembangkit listrik tenaga air, telah mengubah lanskap Tibet, seringkali tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan atau sentimen lokal. Inisiatif ini dipandang oleh warga Tibet sebagai alat asimilasi yang dirancang untuk melemahkan warisan budaya mereka dan memperkuat kendali Beijing atas wilayah tersebut. .
Protes tersebut telah menarik perhatian yang terbatas namun signifikan dari organisasi hak asasi manusia internasional dan kelompok pengungsi Tibet. Pemerintah Pusat Tibet (CTA), yang berbasis di Dharamshala, India, mengeluarkan pernyataan yang mengutuk tindakan keras tersebut dan menyerukan pemantauan internasional yang lebih besar.
“Situasi di Tibet sangat buruk,” kata perwakilan CTA. “Dunia tidak boleh menutup mata terhadap tekanan dan kerusakan lingkungan yang sedang berlangsung.” Banyak negara enggan berkonfrontasi dengan Tiongkok mengenai masalah hak asasi manusia, mengingat pengaruh ekonomi dan diplomatik Beijing.
Meskipun Amerika Serikat, Uni Eropa, dan beberapa negara lain telah menyatakan keprihatinannya terhadap Tibet di masa lalu, tindakan mereka sering kali hanya sebatas tindakan simbolis dan bukan intervensi substantif.
Aksi protes ini menggarisbawahi ketahanan masyarakat yang, meskipun mengalami penindasan selama beberapa dekade, terus berjuang melawan rintangan yang sangat besar. Pada saat yang sama, tindakan keras ini menjadi pengingat akan tantangan yang mereka hadapi dalam mempertahankan hak-hak mereka di tengah sistem otoriter.
Untuk saat ini, Bendungan Kamtok berdiri sebagai penghalang fisik dan simbolis yang memisahkan masyarakat yang menginginkan penentuan nasib sendiri dengan negara yang menuntut kendali penuh.
SUMBER: