geosurvey.co.id – Komandan militer Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah mengumumkan bahwa kelompok tersebut akan menjadi kelompok pertama yang membubarkan faksi bersenjatanya dan bergabung dengan tentara nasional.
Murhaf Abu Qasra, yang menggunakan nama samaran Abu Hassan al-Hamawi, mengatakan kepada kantor berita Prancis AFP bahwa semua unit militer harus digabung menjadi satu organisasi.
Insya Allah HTS akan menjadi salah satu organisasi pertama yang melaksanakan inisiatif ini, ujarnya.
Abu Kasra juga menambahkan bahwa para pemimpin wilayah yang dikuasai Kurdi di Suriah juga harus dimasukkan dalam pemerintahan baru negara tersebut.
“Kurdi adalah bagian dari rakyat Suriah,” kata Kasra. Suriah tidak akan terpecah.
Ia juga meminta masyarakat internasional untuk memberikan tekanan kepada Israel agar menghentikan serangan udara di wilayah Suriah, terutama saat pemerintahan baru sedang dibentuk.
“Kami yakin serangan Israel terhadap instalasi militer dan Suriah bagian selatan tidak adil,” tegasnya. Pada 17 Desember 2024, Hayat Tahrir al-Sham, Kepala Staf Angkatan Darat Abu Hassan al-Hamwi, di kota pelabuhan Lataki Asia di Suriah barat melakukan wawancara.
Israel mengklaim pihaknya hanya menargetkan instalasi militer yang digunakan oleh kelompok militan Hizbullah dan dengan izin dari pemerintahan Bashar Assad.
Namun, pasukan Israel juga dituduh menduduki wilayah tersebut setelah menduduki zona penyangga demiliterisasi di Suriah.
Abu Kasra menambahkan, HTS menyerukan Amerika Serikat dan negara lain untuk mencabut status HTS sebagai organisasi teroris.
HTS memiliki hubungan historis dengan Al Qaeda di Suriah.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, HTS telah bekerja keras untuk memulihkan reputasinya dan berulang kali berjanji untuk menghormati hak-hak kelompok minoritas di negara tersebut. Jerman mengikuti negara-negara lain dalam membahas masa depan Suriah
Menurut Deutsche Welle, diplomat Jerman baru saja melakukan pembicaraan dengan pemerintahan transisi baru Suriah yang dipimpin oleh kelompok HTS di Damaskus pada Selasa (17 Desember 2024).
Jerman mengikuti jejak beberapa negara lain dalam upaya membangun kembali hubungan dengan Suriah setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad.
“Diskusi terfokus pada transisi politik dan harapan kami untuk melindungi hak-hak minoritas dan perempuan serta mendukung pembangunan,” kata Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin.
Selain perundingan, delegasi Jerman juga melakukan pemeriksaan awal terhadap gedung Kedutaan Besar Jerman di Damaskus, menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri Jerman.
“Assad telah berulang kali menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya sendiri di Suriah,” kata kementerian tersebut dalam sebuah postingan di jejaring sosial X.
“Sekarang ada peluang untuk menyelidiki sepenuhnya dan menghancurkan senjata kimia Suriah.”
“Kami telah memberikan dana tambahan kepada OPCW dan masalah ini dibahas hari ini dalam pembicaraan di Damaskus.”
Kunjungan tersebut dipimpin oleh Tobias Tunkel, utusan khusus Jerman untuk Timur Tengah, dan perwakilan dari Kementerian Pembangunan Jerman.
Pada Senin (16/12/2024), diplomat Inggris juga melakukan pembicaraan dengan pemimpin HTS Ahmed Sala (sebelumnya dikenal sebagai Mohammad Jolani).
Uni Eropa juga mengumumkan pada hari Selasa bahwa mereka akan membuka kembali misi diplomatiknya di Damaskus setelah menghubungi kepemimpinan baru Suriah.
“Kita harus bergerak maju dan melanjutkan kerja sama langsung dengan HTS dan faksi lainnya,” kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dalam pembicaraan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Ankara.
Namun kantor berita ISNA mengutip juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran yang mengatakan bahwa Iran masih menutup sementara kedutaan besarnya di Damaskus karena alasan persiapan politik dan keamanan.
(geosurvey.co.id, Tiara Sheravi)