geosurvey.co.id, JAKARTA – Perbedaan bea masuk yang signifikan antara gandum pangan (0 persen) dan gandum pakan ternak (5%) membuka peluang bagi oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan gandum pangan berkedok impor pakan ternak.
Praktik ini tersebar luas dan diyakini merugikan negara miliaran rupee setiap tahunnya.
Menurut Hilman Pujana, Komisioner Komisi Pengendalian Persaingan Usaha (KPPU), saat ini terdapat pajak impor gandum sebesar 0% yang diimpor untuk pangan (food Wheat) dan pajak impor gandum pakan sebesar 5%.
“Perbedaan pajak pakan gandum dan pajak impor pangan bisa jadi merupakan indikasi persaingan usaha tidak sehat antar sesama produsen pakan ternak. Ada pemilik usaha yang cocok dengan penggunaan pakan gandum dengan pajak 5 persen,” tulis Hillman, Rabu (16/1). ) Dalam keterangannya kepada media, ada anggapan tidak tepat memanfaatkan gandum pangan yang bea masuknya 0 persen, melainkan sebagai pakan ternak.
KPPU sebelumnya telah mengumpulkan beberapa pemangku kepentingan terkait bahan baku gandum, antara lain Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT), Kementerian Pertanian (Kementan), regulator dan masih banyak pemangku kepentingan lainnya. . .
Hillman mengatakan KPPU sebagai Komisi Pengkajian Persaingan Usaha menjalankan berbagai fungsi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Fungsi yang dilakukan KPPU antara lain fungsi advokasi serta fungsi penelitian untuk mengevaluasi kebijakan regulasi.
Hilman mengatakan, pihaknya menilai analisis KPPU menunjukkan masih terdapat kesenjangan dalam pengendalian dan distribusi gandum. “Hal-hal seperti label dan label nutrisi pada kemasan biji-bijian pangan perlu diperbaiki untuk memastikan pelabelan,” ujarnya.
“Apakah ada dugaan pabrik baru akan menyerap gandum pangan dalam jumlah besar? Informasi dari CBP menunjukkan ada aturan hukum untuk mencegah penyalahgunaan gandum pangan untuk gandum pangan,” pungkas Hillman.
Menurut Hilman, Direktur Eksekutif Indonesia Food Science (IFW), Pri Menix menekankan bahwa pemerintah harus fokus pada pengetatan hukum untuk mengendalikan masalah tersebut. Untuk menegakkan aturan main, perlu diperkuat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) sebagai payung hukum yang mengatur peraturan dalam berkas ini.
“Pelaksanaan di bidang permentan perlu menjadi acuan pengawasan. Jika ada pelanggaran sebelum permentan diterbitkan, tentu belum ada kepastian dari segi regulasi,” kata Menix.
Lulusan IPB University ini menduga perbedaan bea masuk antara gandum pangan dan gandum pakan menjadi salah satu biang permasalahan penyalahgunaan pakan gandum. “Memang perlu dijajaki lebih dalam. Bisnisnya bagus, tapi kalau ada polanya tidak bisa diabaikan,” jelas Menix.
Ia kemudian mengatakan, menurut Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo), jumlah impor gandum sektor tepung pada tahun 2020 sebanyak 8,6 juta ton atau setara dengan 6,7 juta ton tepung terigu. Pada tahun 2021, konsumsi gandum meningkat menjadi 8,9 juta ton atau setara dengan tujuh juta ton tepung terigu.
Namun pada tahun 2022, konsumsi gandum mengalami penurunan sebesar 8,6 juta ton atau setara dengan 6,72 juta ton tepung terigu. Namun pada tahun berikutnya, impor gandum meningkat menjadi 8,8 juta ton atau setara dengan 6,87 juta ton gandum. Aptindo kemudian mencatat impor gandum pada Januari-Juni 2024 sebesar 4,64 juta ton atau setara 3,61 juta ton tepung terigu.
Menariknya, data Aptindo jauh lebih rendah dibandingkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Pada Januari-Agustus 2024, BPS mencatat impor gandum sebanyak 8,44 juta ton atau setara dengan 2,56 miliar USD. Selisih volume impor tersebut merupakan hewan pakan. Menix bertanya apakah hal itu bisa disebabkan oleh impor gandum.
Artinya, jumlah impor gandum untuk pakan ternak meningkat drastis melebihi jumlah impor gandum untuk pangan manusia, jelasnya.
Menurut Menix, pelaku usaha pet food harus memiliki persaingan yang sehat agar usahanya tetap berjalan. Khususnya bagaimana menerapkan kewajiban penggunaan pakan gandum dengan pajak impor sebesar lima persen sebagai input utama produksi pakan ternak dibandingkan pangan.
Oleh karena itu wajar jika impor gandum pangan lebih tinggi dibandingkan impor gandum pakan, tutupnya.