Pernyataan reporter geosurvey.co.id Aisyah Nursyamsi
geosurvey.co.id, JAKARTA – Pakar kesehatan dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan ada 9 potensi hambatan program gizi gratis.
“Kita harus ingat, meskipun program ini bagus, namun banyak kendala yang harus dihadapi terlebih dahulu untuk mencapai apa yang kita harapkan,” ujarnya kepada Tribunnews, Selasa (22/10/2024).
Pertama, kualitas dan jenis makanannya berbeda. Pola makan yang buruk atau tidak dipersiapkan dengan baik akan mengurangi efektivitas program.
Misalnya, menu yang tidak sesuai atau tidak memenuhi kebutuhan gizi harian anak dapat menyebabkan kelelahan dan gizi buruk.
Menurut Dicky, solusinya adalah dengan memastikan menu tersebut kaya akan sumber protein, serat, vitamin, dan mineral.
Penting juga bagi ahli gizi untuk mengembangkan menu yang sesuai dengan usia dan kebutuhan kesehatan anak.
Kedua, distribusi dan persenjataan. Kesulitan dalam distribusi pangan, terutama di daerah terpencil atau daerah yang tidak memiliki infrastruktur yang memadai, dapat mengakibatkan tertundanya atau menurunnya kualitas pangan.
Misalnya, makanan menjadi enak atau menjadi buruk. Terkait hal tersebut, Dicky mengatakan perlu direncanakan sistem distribusi yang efektif.
Termasuk berkolaborasi dengan produsen pangan lokal, menggunakan penyimpanan dan transportasi yang memadai untuk menjaga kualitas pangan.
Ketiga, kepatuhan terhadap standar kebersihan dan keamanan pangan.
Kebersihan dan keamanan pangan merupakan bagian penting dari pencegahan penyakit bawaan makanan.
Kegagalan untuk mematuhi standar kebersihan dapat menyebabkan risiko kontaminasi dan wabah penyakit.
“Harus ada pelatihan khusus mengenai praktik higienitas dan higienitas bagi mereka yang melayani makanan dan petugas dapur. Perlu juga adanya pengawasan dan pemeriksaan rutin oleh otoritas terkait,” kata Dicky.
Keempat, ukuran porsi tidak sesuai dengan kebutuhan anak.
Komponen makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan energi dan gizi anak pada berbagai usia (TK, SD, SMA) dapat menyebabkan terjadinya gizi buruk atau bahkan gizi buruk pada sebagian anak.
Oleh karena itu, porsi makan harus berubah sesuai usia dan aktivitas anak.
Seorang ahli gizi dapat membantu menentukan pola makan yang tepat untuk setiap kelompok umur.
Kelima, belum adanya pendidikan gizi pada anak dan orang tua.
Jika anak dan orang tua belum memahami pentingnya gizi, anak bisa jadi enggan mengonsumsi makanan sehat yang disediakan.
Program tersebut, kata Dicky, akan dibarengi dengan pendidikan gizi di sekolah dan di rumah yang melibatkan guru, orang tua, dan tenaga kesehatan.
Misalnya, kampanye atau pelatihan gizi untuk orang tua dapat membantu memastikan bahwa Anda terus mengonsumsi makanan bergizi di luar sekolah.
Keenam, keterbatasan anggaran. Pendanaan yang tidak memadai dapat membatasi jumlah anak yang menerima makanan atau menurunkan kualitas makanan yang disediakan.
“Program tersebut harus memiliki anggaran yang jelas dan berkelanjutan. Kerjasama dengan perusahaan swasta, LSM atau donor internasional dapat membantu menutup defisit anggaran,” kata Dicky menyarankan.
Ketujuh, penerimaan sosial dan budaya.
Tidak semua keluarga atau masyarakat dapat menerima jenis makanan tertentu karena alasan tradisional atau agama.
Misalnya, anak-anak dan keluarga mereka mungkin menolak makanan yang tidak sesuai dengan selera atau kepercayaan masyarakat setempat.
Penyusunan menunya akan mempertimbangkan perbedaan budaya dan agama masing-masing daerah.
Diskusi dengan masyarakat dapat membantu terciptanya tawaran yang dapat diterima semua pihak.
Kedelapan, monitoring dan evaluasi saja tidak cukup.
“Tanpa sistem monitoring dan evaluasi yang baik, sulit untuk mengetahui apakah program tersebut berhasil mencapai tujuan penurunan gizi buruk, atau perlu perbaikan,” kata Dicky.
Harus ada proses pemantauan berkelanjutan untuk menilai dampak program terhadap status gizi anak.
Data yang dikumpulkan dapat digunakan secara berkala untuk meningkatkan dan memodifikasi program.
Dan terakhir, peran guru di sekolah dan program.
Jika guru dan kepala sekolah tidak dilibatkan dalam dukungan program, implementasinya mungkin tidak akan berhasil.
Misalnya, distribusi makanan mungkin tidak tepat waktu dan tidak dikelola dengan baik.
“Guru dan staf sekolah harus dilibatkan sejak awal perencanaan dan pelaksanaan program. Mereka juga harus memberikan pelatihan tentang kebutuhan gizi untuk tumbuh kembang anak. Mereka bisa menjadi sponsor utama program di tingkat sekolah.” katanya. tutupnya.