Laporan reporter geosurvey.co.id, Fahmi Ramadhan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Ahli Geologi Syahrul mengungkapkan, luas pembukaan tambang di kawasan IUP PT Timah pada 2015-2022 hanya seluas 32,75 hektare.
Syahrul mengatakan, perhitungannya dilakukan bersama rekan geologisnya, Albert Septario Tempessy, menggunakan citra satelit resolusi tinggi.
Hal itu diungkapkan Syahrul saat Kejaksaan Agung (JPU) mengutusnya sebagai ahli dalam tindak lanjut kasus korupsi perdagangan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Taipan Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, mantan direktur PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan mantan direktur keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra menjadi tergugat dalam gugatan ini
Syahrul memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi negara dan dampak operasi pertambangan, yang meliputi analisis data selama 4 bulan dari berbagai sumber, termasuk survei literatur, wawancara dan data lembaga serta satelit.
“Kami ingin klarifikasi, jumlah timah di Provinsi Bangka Belitung sebanyak 45,09 persen. 54 persennya bukan timah,” kata Syahrul.
Dari 45,09 persen tersebut, 22,83 persen merupakan timah, sisanya timah non aluvial.
Syahrul menjelaskan, setiap tahun pihaknya menghitung pembukaan usaha pertambangan dan izin usaha pertambangan (IUP).
“Jadi kita analisa satu per satu, kenapa lama sekali kalau analisa masing-masing IUP satu per satu, kita hitung IUP-nya,” kata Syahrul.
Dari analisis awal, Syahrul menjelaskan IUP PT Timah di Provinsi Bangka Belitung terbagi menjadi 59 persen pada areal penggunaan lain (APL), 40,17 persen pada hutan produktif, dan 0,02 persen pada hutan lindung.
Dalam proses analisisnya, Syahrul menggunakan citra satelit berbayar dengan resolusi maksimal 0,5 meter dan membandingkannya dengan citra satelit gratis yang beresolusi maksimal 15 meter.
“Lalu datanya kita beli, karena kita tidak percaya 100 persen, dibandingkan harga yang kita beli, kita bandingkan. Beda, tapi tidak terlalu penting, lebih baik dibayar,” kata Syahrul.
Citra satelit gratis, menurut Syahrul, memiliki gangguan objek yang dapat mengganggu hasil analisis karena resolusinya rendah.
“Tapi kalau 0,5 meter lebih tajam. Bisa kita tafsirkan, lebih akurat,” tuturnya.
Menafsirkan pembukaan lahan melalui citra satelit, Syahrul membaginya menjadi tiga periode, yakni periode pertama sebelum tahun 2015, periode kedua tahun 2015-2022, dan periode ketiga setelah tahun 2022.
Pada periode pertama ditemukan bukaan lahan seluas 213 hektare, periode kedua hanya ditemukan 32,75 hektare, dan periode ketiga sedikitnya 20 hektare.
“Bukaan lahan kita bandingkan dengan overlay dan kawasan hutan. Jadi ada bukaan di kawasan hutan. Ada juga yang di APL kawasan hutan,” ujarnya.
Syahrul kemudian menjelaskan, sulit bagi orang yang bukan ahli untuk menghitung bukaan timah.
Sebab, menurut dia, masyarakat sulit membedakan pembuka kaleng dan non timah.
“Jadi bisa saja, kalau kita lihat warnanya mungkin putih, tapi putihnya tidak ada tanda-tanda adanya penambahan timah. Misalnya saja batu kapur atau yang lainnya, kaolin,” ujarnya.
Saat menafsirkan pernyataan pembuka saya, Syahrul mengatakan bahwa dibutuhkan banyak pengalaman dan jam terbang untuk menghindari kebingungan dan data yang tidak valid.
“Oke, ini dia ketajamannya, jam-jam yang masuk ke dalam penerjemahan. Mari kita ke bagian bayarannya. Nah kalau dilihat dari bagian bayarannya, di sini terlihat perbedaannya, penting sekali,” ujar Syahrul.
Rinciannya, berdasarkan aduan kejaksaan, kerugian pemerintah akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp300 triliun.
Perhitungan ini berdasarkan laporan akuntansi perhitungan kerugian keuangan pemerintah dalam kasus timah sebagaimana tercantum dalam nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tanggal 28 Mei.
Kerugian negara disangkakan jaksa merupakan kerugian akibat kerja sama sewa peralatan dan biaya timah.
Tak hanya itu, jaksa juga menyebut kerugian negara akibat kerusakan lingkungan hidup mencapai Rp271 triliun. Begitulah cara para ahli lingkungan menghitungnya.