geosurvey.co.id, JAKARTA – Jaksa Agung merupakan jaksa tertinggi di Indonesia.
Oleh karena itu, penerapan Sistem Peradilan Tunggal atau Single Session System di bawah Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah tepat menurut Guru Besar Madya Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi.
Fachrizal menjelaskan, kritik yang kerap diterima jaksa adalah upaya penuntutan yang tidak efektif sehingga berdampak pada penanganan perkara yang tidak efektif.
“Kebijakan Sistem Persidangan Bersama berperan penting dalam menjaga kesatuan dan koordinasi antar kejaksaan di seluruh Indonesia. Melalui kebijakan ini, Jaksa Agung sebagai jaksa tertinggi memastikan seluruh kegiatan penyidikan dan putusan dilaksanakan secara tertib dan terpadu satu. tertib bersih,” kata Fachrizal dalam keterangannya, Senin (14/10/2024).
Menurut dia, landasan hukum dibentuknya program ini sudah jelas, yakni UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menetapkan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi di Indonesia.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kehakiman memperkuat peran Menteri Kehakiman sebagai pengarah tunggal seluruh proses penuntutan di Indonesia, baik di bidang peradilan perdata maupun militer.
Aspek kunci dari sistem penuntutan bersama adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan penegakan hukum di berbagai bidang, termasuk penegakan hukum dengan unsur militer dan sipil.
Program Afiliasi diatur oleh UU No. 31 Tahun 1997 tentang Undang-Undang Peradilan Militer dan Hukum Acara Pidana, dimana Jaksa Agung berwenang menentukan pengadilan mana yang berhak mengadili perkara yang berkaitan, melalui koordinasi dengan Jaksa Agung TNI dan aparat penegak hukum lainnya. perusahaan.
Dalam beberapa kasus penting yang melibatkan operasi pidana korupsi yang dilakukan pihak militer, seperti kasus korupsi Dana Tabungan Perumahan Wajib (TWP) TNI AD, dan proyek pengadaan satelit slot orbital Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung melalui Wakil Jaksa Agung Umum. Bidang Kejahatan Militer (Jampidmil), mempunyai peranan penting dalam penyidikan dan penuntutan.
Sistem ini juga efektif merespons penolakan jaksa dalam penanganan perkara korupsi yang dinilai tidak lebih efektif dibandingkan menjaga kontrol Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri.
Fachrizal menjelaskan, secara hukum, kewenangan penuntutan untuk mengusut tindak pidana korupsi diatur secara jelas dalam beberapa undang-undang, termasuk UU No. 16 Tahun 2004 jo UU No. 11 Tahun 2021 oleh Kejaksaan Agung RI.
Kewenangan tersebut juga didukung oleh asas dominus litis yang menempatkan jaksa sebagai penanggung jawab proses penyidikan dan penuntutan.
Laporan Persepsi Korupsi Indonesia (ICW) tahun 2022 menunjukkan signifikannya upaya kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Setidaknya, kejaksaan telah mengusut 405 kasus korupsi dengan kerugian negara terkendali sebesar 39,2 triliun.
Jumlah kasus ini jauh lebih banyak dibandingkan KPK yang memproses 36 kasus dan polisi yang memproses 138 kasus.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga menyita sejumlah besar aset, antara lain uang, harta benda di luar negeri, dan mobil.
Harta tersebut antara lain sejumlah Rp 21.141.185.272.031,90 dolar Amerika sebesar 11.400.813,57 dan dolar Singapura sebesar 646,04.
Selain itu, jaksa juga menyita harta benda di luar negeri, antara lain di Singapura dan Australia.
Meski sistem penuntutan bersama dirancang untuk menghindari fragmentasi penegakan hukum, menurut Fachrizal, masih terdapat tantangan dalam koordinasi antar lembaga penegak hukum.
“Salah satu tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan berbagai lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, dan TNI dapat bekerja secara harmonis dengan pihak kejaksaan. Namun kebijakan ini dilengkapi dengan mekanisme yang memberikan kebolehan. Jaksa Agung. untuk mengatasi perbedaan pendapat atau kendala yang muncul di lapangan,” kata Fachrizal.
Dijelaskannya, huruf 35 UU No. 11 Tahun 2021 menegaskan bahwa semua perkara pidana harus dipertanggungjawabkan kepada Menteri Kehakiman.
Artinya, meski kasusnya melibatkan lembaga penegak hukum yang berbeda, kejaksaan tetap mempunyai kewenangan tertinggi untuk mengatur proses penuntutannya, ujarnya.