Brigade Al-Qassam membunuh 3 tentara Israel dari jarak dekat di Beit Lahia
Berita Tribun – Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan pada Jumat (16/11/2024) bahwa mereka berhasil melumpuhkan tiga tentara Israel dari jarak dekat di dekat Lapangan Abbas Kilani, sebelah utara Beit Lahiya di utara Gaza.
Dalam keterangan singkatnya, kelompok ini juga mengaku bertanggung jawab atas penembakan terhadap seorang tentara Israel di kawasan yang sama.
Brigade Al-Qassam juga mengaku telah menargetkan tank Merkava 4 Israel di Jalan Dawas, sebelah barat kamp pengungsi Jabaliyah di Gaza utara, dengan bom Shavaz.
Meningkatnya korban tentara Israel
Menurut statistik terbaru tentara Israel, jumlah korban jiwa sejak dimulainya perang pada 7 Oktober 2023 telah mencapai 794 tentara.
Dari jumlah tersebut, 373 tentara tewas sejak serangan darat dimulai pada 27 Oktober.
Agresi ini juga mengakibatkan 5.360 tentara Israel terluka, 781 di antaranya dalam kondisi kritis. Tentara Israel menggunakan helikopter untuk mengangkut pasukan yang terluka dalam serangan militer darat di Lebanon selatan dalam perang melawan Hizbullah. (berita)
Operasi banjir Al-Aqsa
Batalyon Qassam memulai operasi banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 sebagai respons atas penindasan Israel di wilayah pendudukan Palestina.
Menanggapi serangan di seluruh wilayah tersebut, tentara pendudukan Israel melancarkan kampanye militer yang disebut “Pedang Besi” yang melakukan serangan udara besar-besaran di Gaza.
Serangan Israel telah menimbulkan banyak korban jiwa, menewaskan ratusan warga Palestina, melukai ribuan orang, dan menyebabkan kerusakan parah pada bangunan tempat tinggal, infrastruktur, dan lembaga-lembaga publik. Seorang polisi wanita Israel menahan seorang pengunjuk rasa selama demonstrasi menentang wajib militer bagi Yahudi Haredi ultra-Ortodoks. (Khaberani) Ribuan orang Yahudi ultra-Ortodoks harus ikut serta dalam perang
Mengenai situasi militer Israel, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memerintahkan 7.000 orang Yahudi ultra-Ortodoks untuk berperang bersama Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Gaza dan Lebanon.
Menurut pernyataan Kementerian Pertahanan Israel, perintah wajib militer akan dikeluarkan secara bertahap dan mulai minggu depan setelah selesainya evaluasi militer.
Menurut Kantor Berita Internasional Tasnim, mengutip kantor berita Anatolia, Katz mengatakan: “Pendaftaran 7.000 Haredim yang akan bertugas di Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan dikeluarkan secara bertahap dan dimulai pada hari Minggu setelah evaluasi militer.”
Rincian bagaimana proses ini akan dilakukan masih belum jelas.
Namun, Menteri Pertahanan Israel Katz berencana mengadakan pembicaraan dengan pihak-pihak terkait untuk menemukan kompromi yang akan membantu mengintegrasikan Yahudi ultra-Ortodoks (Haredim) ke dalam militer.
Katz juga berjanji akan menyediakan lingkungan yang mendukung bagi tentara ultra-Ortodoks untuk menjalankan tugas militernya, selain menjaga gaya hidup religius.
Pernyataan itu muncul setelah Mahkamah Agung Israel pada bulan Juni memerintahkan orang-orang Yahudi Haredi untuk berperang bersama warga Israel lainnya. Warga ultra-Ortodoks mengancam akan meninggalkan Israel
Menanggapi perintah militer Perdana Menteri Netanyahu, ribuan warga Haredi yang ultra-Ortodoks memutuskan untuk tidak patuh.
Yahudi ultra-Ortodoks menolaknya karena menganggap keputusan Netanyahu bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung Israel.
Pasalnya, kaum ultra-Ortodoks merupakan warga kelas agama Israel yang fokus secara khusus pada isu-isu keagamaan.
Oleh karena itu, kelompok ultra-ortodoks hanya menuntut hak untuk belajar pada pendidikan agama khusus, bukan untuk menjadi tentara atau pegawai negeri.
Tak hanya itu, kelompok ultra-Ortodoks juga mengancam akan meninggalkan Israel jika dipaksa menjadi tentara.
Menurut Anadolu, kepala rabi Yahudi Sephardi berkata: “Jika mereka memaksa kami bergabung dengan tentara, kami semua akan terbang ke luar negeri, membeli tiket pesawat, dan pergi.”
“Mereka (warga Israel sekuler) harus memahami bahwa tanpa Taurat, tanpa klells dan yeshivas (perguruan tinggi Yahudi untuk studi Talmud), tentara [Israel] tidak akan berhasil,” tambah Sephardik.
Gelombang penolakan mendorong orang-orang ultra-Ortodoks ultra-Ortodoks melakukan demonstrasi besar-besaran di dekat area kantor perekrutan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) di Yerusalem.
Pada bulan Agustus, lebih dari 100 pria ultra-Ortodoks dilaporkan turun ke jalan untuk berdemonstrasi di dekat kantor perekrutan tentara Israel, tempat tentara ultra-Ortodoks bertugas.
Akibat kerusuhan tersebut, lima pengunjuk rasa ultra-Ortodoks ditangkap atas tuduhan melakukan kerusuhan dan menyerang petugas polisi di Yerusalem. Krisis militer Israel
Keluarnya perintah wajib militer bagi kelompok ultra-Ortodoks telah memicu spekulasi bahwa Israel saat ini sedang mengalami krisis militer.
Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir, sebagian besar pasukan cadangan batalion tempur menolak perintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk terus menyerang Hamas di Jalur Gaza.
Tidak dijelaskan secara spesifik mengapa tentara Israel bersatu menolak perintah perang.
Namun, menurut informasi yang dihimpun media lokal Channel 14, pengunduran diri tersebut mencerminkan keresahan di dalam unit tersebut akibat perbedaan pendapat di antara mereka mengenai pendudukan Rafah di Gaza, Palestina.
Isu krisis pasukan diperkuat dengan pernyataan juru bicara militer Israel yang mengungkapkan bahwa pihaknya sangat membutuhkan 7.000 tentara lagi.
Selain ribuan tentara, IDF juga menginginkan 7.500 lebih posisi perwira dan bintara.
Jumlah tersebut melonjak dari target yang direncanakan, menandakan IDF sedang mengalami krisis tenaga kerja di medan perang.
(oln/rntv/*)