geosurvey.co.id – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menggelar sidang terbuka promosi PhD bidang Kajian Strategis dan Global di Universitas Indonesia (UI) pada Rabu (16/10/2024) di kampus UI. depok. .
Tesis Bahlilin berjudul ‘Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi yang Adil dan Berkelanjutan di Indonesia’.
Bahlil menjelaskan dalam hasil penelitiannya bahwa kebijakan hilir masih menimbulkan permasalahan bagi masyarakat lokal.
Misalnya soal pembagian hasil antara negara dan daerah, berdasarkan penjelasannya tidak adil.
Meski demikian, Bahlil menilai kebijakan hilirisasi yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih patut diapresiasi.
Menurutnya, Jokowi sudah berani menerapkan kebijakan tersebut.
Artikel Bahlilin menggunakan lokasi penelitian Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dan perusahaan tambang PT Indonesia Weda Bay Industrial Park di Kabupaten Halmahera, Maluku Utara (Malut).
Masalah hilir: pembagian keuntungan yang tidak adil berdampak pada kesehatan masyarakat
Bahlil dalam pemaparannya mengatakan, ada beberapa permasalahan akibat kebijakan hilirisasi nikel.
Contohnya adalah pembagian keuntungan yang tidak adil antara Negara dan masyarakat sekitar.
Ia juga menyarankan peningkatan bagi hasil bagi daerah menjadi 30-45 persen melalui Dana Bagi Hasil (DBH).
“Kami ingin pendapatan negara bisa didistribusikan ke seluruh daerah,” jelasnya.
Usulan ini datang dari cicilan DAP yang menurut Bahlil terlalu singkat. Padahal, hilirnya berkontribusi terhadap pendapatan negara.
Dia menjelaskan, kebijakan penurunan penerimaan negara ini berdampak pada peningkatan yang cukup besar.
Saat ini penerimaan negara dari hilirisasi nikel mencapai US$34 miliar, dibandingkan tahun 2017 sebesar US$3,3 miliar.
Namun, Bahlil menjelaskan kesimpulannya, peningkatan pendapatan negara berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar.
Ia mengatakan, kasus infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) meningkat sebesar 54 persen di Morowali.
Tak hanya itu, dampak hilirnya juga menyasar akses masyarakat terhadap air bersih.
“ISPA di Sulteng khususnya di Morowali berdampak terhadap kesehatan sebesar 54 persen. Kemudian di Halmahera Tengah lebih baik lagi.”
“Morowali punya air ya Tuhan, tapi jauh lebih baik dari Halmahera tengah,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, guncangan hebat yang dialami daerah berbanding terbalik dengan DAP yang diterima.
Bahlil mengatakan, pemerintah daerah hanya menerima 1/6 dari total pendapatan DBH.
Misalnya di Halmahera tengah, kawasan industri bisa menghasilkan Rp 12,5 miliar. Tapi apa jadinya? Pemerintah pusat tidak menyalurkan lebih dari Rp 1,1 miliar ke kabupaten, dan ke provinsi hanya Rp 900 miliar, jelasnya.
Selain peningkatan DAP, Bahlil juga mengusulkan pemisahan antara pendapatan migas dan dana hilir.
Usulan ini mencerminkan kesadaran bahwa masyarakat hilir masih jarang dilibatkan.
“Tetapi nikel bagi masyarakat sangat hilir. Jadi menurut saya pemasukan dan pembayaran harus adil,” ujarnya.
Puji terus Jokowi
Meski demikian, Bahlil tetap memuji politik kerakyatan yang dilakukan Jokowi meski menemukan sejumlah kendala dalam penyelidikannya.
Bahlil mengatakan, belum ada lembaga negara di mana pun yang menerapkan kebijakan hilirisasi tersebut.
Ia pun menegaskan, kebijakan hilirisasi pasti akan dilaksanakan.
Namun, lanjutnya, belum ada desain politik konkrit yang bisa dijadikan acuan.
“Saya bingung, jadi ini yang saya kerjakan di kabinet selama lima tahun terakhir, dan ketika suatu saat hilirisasi, masih belum ada proyek,” jelasnya.
Bahlil memuji keberanian Jokowi dalam mengambil Kebijakan Degradasi Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dan dukungan menteri terkait di kabinetnya.
Ia juga menegaskan, belum ada lembaga negara yang menerapkan kebijakan sumber daya alam yang bersifat bottom-up seperti Jokowi.
“Tunjukkan kepada saya lembaga negara mana yang kini dijadikan tolok ukur untuk turun.”
“Itu hanya kepemimpinan Presiden Jokowi yang berani dan para menterinya yang sedikit nakal, termasuk saya,” ujarnya.
Melalui disertasi doktoralnya, Bahlil menegaskan harapannya dapat menerapkan kebijakan hilirisasi yang diterapkan secara akademis di Indonesia.
Untuk tesisnya, mantan Menteri Investasi/Kepala BKPM ini melakukan penelitian di beberapa negara seperti China, Jepang, dan Inggris.
Ia mencontohkan kebijakan Inggris yang melarang ekspor wol pada abad ke-16, yang menjadikan negara tersebut makmur dalam industri tekstil.
“Di Korea (hilirisasi) ditangani oleh Menteri Bonly. Namun beliau diberi kewenangan untuk memberikan insentif, termasuk pembiayaan,” jelas Bahlil.
Lebih lanjut, Bahlil diharapkan bisa langsung menerapkan kebijakan hilirisasi di bawah kepemimpinan Presiden RI.
Ia tidak ingin ada monopoli atas kebijakan kerakyatan ini.
“Ini contoh, harusnya ada pertanggungjawaban langsung ke presiden. Tidak boleh ada presiden kecil, dia langsung apa? Perintahnya langsung dan segera dilaksanakan,” ujarnya.
Bahlil menerima gelar doktor dengan predikat cumload Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia diumumkan sebagai calon doktor dengan predikat cumload dalam sidang terbuka yang digelar Kajian Strategis dan Global Universitas Indonesia (UI) di kampus UI, Depok. Rabu (16/10/2024).
Tesis Bahlil membuatnya mendapatkan gelar doktor dengan Come Loud Prophecy. Pengumuman kelulusan dilakukan oleh I Ketu Surajya, Guru Besar SKSG UI sekaligus ketua sidang di gedung Makara Art Center, Kampus UI, Depok.
Oleh karena itu, berdasarkan semua itu, tim verifikasi memutuskan untuk mengangkat Saudara Bahlil Lahadalia sebagai doktor pada program studi Kajian Strategis dan Global, kata Ketut.
Namun menurut Candra Vijaya, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UI sekaligus promotor esai tersebut, topik disertasi Bahlilin sangat penting karena berkaitan dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia, salah satunya nikel.
Kandra juga menilai, hasil pemeriksaan Bahlil harus menjadi peringatan kepada pemerintah agar tidak membuat Indonesia seolah-olah “dikutuk” karena kekayaan sumber daya alamnya.
“Jangan sampai negara bangkrut karena terkena kutukan sumber daya alam,” ujarnya.
Kandra juga memuji tulisan Bahlil yang menyoroti kemerosotan industri manufaktur Indonesia selama dua tahun terakhir dan dampaknya terhadap produk domestik bruto (PDB).
Bahlil kemudian dipuji karena membingkai isu terkait Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atau masih berada dalam jebakan pendapatan menengah.
Dengan rumusan masalah tersebut, kata Kandra, Bahlil meneliti dampak hilirisasi nikel untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.
Namun kenyataannya, hasil penelusuran Bahlilin menunjukkan kebijakan hilirisasi nikel meningkatkan penerimaan negara, namun tidak berdampak pada masyarakat sekitar.
“Dr Bahlil dalam penelitiannya menemukan bahwa hilirisasi nikel masih belum adil dan berkelanjutan,” jelas Kandra.
Kandra berharap tulisan Bahlil bisa dijadikan bahan penilaian pemerintah terhadap kebijakan hilirisasi nikel dari sisi ekonomi.
Dia melanjutkan, penilaian tersebut hanya bertujuan untuk mengidentifikasi hilirisasi nikel yang berkeadilan dan berkelanjutan.
(geosurvey.co.id/Yohanes Liestyo Poerwoto)