geosurvey.co.id – Depresi dan bunuh diri menjadi ancaman nyata bagi remaja di zaman modern. Menurut data WHO tahun 2024, bunuh diri kini menjadi penyebab kematian ketiga pada kelompok usia 15-29 tahun. Kejadian ini menggambarkan betapa pentingnya kesehatan mental dan ketahanan dalam menghadapi tantangan kehidupan remaja.
Menanggapi hal tersebut, Fakultas Psikologi (FPsi) dan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Pelita Harapan (UPH) memperingati Pekan Kesehatan Remaja Internasional dengan mengadakan acara bertema International Adolescent Health Week (IAHW) 2024. ‘Thriving Not Just Surviving ‘. Puncak acara IAHW adalah pidato ‘Building Resilient Minds in the Digital Era’ yang dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2024 di Gedung FK UPH.
Seminar ini diselenggarakan oleh Anna Surti Ariani, M.Psi., Psi, selaku koordinator Kelompok Manajemen Teknis Pelatihan Dukungan Psikologi Awal (TMTPDPA) Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPK). dibawakan oleh tiga pembicara. ), Susana Ang adalah orang tua dari tiga remaja laki-laki, pendidik anak usia dini, pelatih terapi olahraga bersertifikat, serta Alumni Manajemen UPH angkatan 2019, konten kreator dan finalis Putri Indonesia Bandon Angeli M. 2023. seminar ini menyoroti pentingnya membangun ketahanan generasi muda melalui perspektif psikolog, orang tua dan Gen-Z.
Ketahanan remaja: Lebih dari sekedar ketahanan
Masa remaja merupakan fase kritis dalam kehidupan dimana individu tidak hanya mengalami perubahan fisik tetapi juga perubahan emosional dan sosial. Pada tahap ini, remaja menghadapi tuntutan untuk memahami diri sendiri, menemukan jati diri, dan menentukan arah masa depan. Namun tantangan eksternal seperti tekanan akademis, hubungan, dan pengaruh media sosial seringkali menambah beban mental.
Dalam pemaparannya, Anna menekankan bahwa resiliensi bukan hanya tentang kemampuan bertahan, namun juga kemampuan mengenali keterbatasan diri.
“Kalau dulu tegar dimaknai ‘perlawanan’, sekarang tegar itu tahu kapan harus santai dan kapan harus bilang ‘tidak’. Seseorang yang bisa dikatakan kuat punya lima kunci utama untuk jago. . memecahkan masalah, memiliki sumber daya yang cukup, Keberanian untuk meminta bantuan, kemampuan menemukan solusi dan mengintegrasikan keterampilan dan kekuatan. Terimalah tantangannya,” jelas Anna.
Anna juga menyoroti tren kompleks kesehatan mental remaja di era digital. Tekanan sosial, pendidikan, dan akses informasi yang berlebihan seringkali meningkatkan risiko gangguan jiwa. Kondisi ini tidak hanya mengganggu aktivitas sehari-hari, tetapi juga dapat menghambat remaja dalam menemukan jati dirinya dan menentukan lingkungan sosial yang sesuai.
Di sisi lain, Anna juga menjelaskan bahwa salah satu keterampilan remaja yang paling penting adalah kemampuan membedakan antara escape dan resiliensi. Remaja perlu belajar bahwa istirahat bukanlah tentang lari dari masalah, namun bagian dari proses bangkit dengan kekuatan baru.
“Masalah kesehatan mental ini memerlukan intervensi agar bisa diatasi secara tuntas. Menunda pekerjaan karena takut atau merasa tidak mampu merupakan tanda untuk melarikan diri. Namun, jika seseorang istirahat untuk memulihkan tenaga lalu bangkit kembali, itulah yang disebut dengan resiliensi. .produktif. “Bukan berarti, tapi berarti bijak dalam mengenali dan menghargai keterbatasan,” ujarnya.
Tantangan dan perspektif pengasuhan anak di era digital
Dari sudut pandang orang tua remaja, Susanna Ang menemukan bahwa fenomena yang terjadi saat ini membuat anak lebih mudah peka terhadap situasi emosional yang dialaminya.
Namun, terlalu banyak informasi tanpa mengetahui kebenarannya dapat mengancam generasi muda untuk ‘self-diagnosis’ dan menimbulkan stigma bagi diri mereka sendiri.
“Teknologi memberikan kemudahan, namun juga memberikan tantangan. Informasi yang terlalu banyak dan terus-menerus dapat membuat anak merasa bingung dan kewalahan, apalagi jika informasi yang diberikan tidak sepenuhnya akurat. Fenomena self-diagnosis merupakan permasalahan yang muncul seiring dengan meningkatnya kemampuan mental. literasi di kalangan remaja. “Banyak remaja saat ini yang sensitif terhadap kesehatan mental. dan sadar, namun hal ini juga bisa berbahaya jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang benar,” kata Susanna.
Menurutnya, sebagai orang tua penting untuk membantu dan membina hubungan yang sehat dengan generasi muda. Tidak hanya mendengarkan keluh kesahnya, namun juga memberikan dukungan emosional dan validasi.
“Kita harus belajar mendengarkan dan tidak langsung menghakimi anak. Terkadang mereka mau mendengarkan tanpa perlu solusi langsung. Penting juga agar orang tua tidak ragu untuk meminta bantuan psikolog jika diperlukan,” imbuhnya.
Perspektif Gen-Z: Kritis dan cerdas
Mewakili sudut pandang Gen-Z, Angeli M. Butri menyoroti betapa pentingnya validasi emosional dalam menjaga kesehatan dan ketahanan mental.
“Terkadang kita ingin didengarkan dan dimengerti. Tekanan dalam dunia pendidikan seperti menyelesaikan skripsi itu sangat tinggi, jika kita berhenti sejenak bukan berarti kita menyerah. mencoba. yang terbaik,” kata Angeli.
Angeli juga menekankan bahwa komunitas dan lingkungan sosial yang mendukung dapat membantu Gen-Z membangun ketahanan. Menurutnya, generasi ini bukan sekedar bertahan tetapi berusaha menjadi pintar dengan bekerja secara efisien dan cerdas.
“Kita tidak lagi fokus pada kerja keras, tapi bekerja lebih cerdas, bagaimana mengatasi stres tanpa mengorbankan kesehatan mental kita,” jelasnya. Angeli yakin dengan pengertian dan dukungan masyarakat, remaja akan mudah menemukan solusi dan menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan.
Seminar bertajuk ‘Not Just Surviving: Resilience in Developing Adolescents’ ini diharapkan dapat memberikan wawasan komprehensif kepada mahasiswa mengenai pentingnya resiliensi dan kesehatan mental bagi remaja, baik dari sudut pandang kesehatan mental, sebagai orang tua maupun generasi pertama Z. – pengalaman langsung.
Seminar ini menekankan bahwa resiliensi bukan hanya tentang kelangsungan hidup, namun tentang kemampuan mengenali keterbatasan diri, bertindak cerdas, dan mencari dukungan dari orang sekitar. Dengan tantangan era digital yang kompleks, intervensi yang tepat dan komunitas yang suportif adalah kunci untuk membantu remaja mengatasi stres.
UPH selalu berkomitmen untuk terus mendukung kesehatan mental dan kesejahteraan mahasiswanya melalui berbagai program dan layanan psikologis, serta menciptakan lingkungan kampus yang ramah dan peduli terhadap perkembangan pribadi dan akademik setiap individu. UPH selalu berupaya menjadikan lulusannya bertakwa, berprestasi dan berdampak pada lingkungan sosial.