geosurvey.co.id, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengharapkan dukungan pemerintah dan DPR untuk membentuk organisasi khusus yang menangani industri kelapa sawit.
Pusat khusus ini diharapkan mampu memperbaiki pengelolaan industri kelapa sawit agar dapat terus berjalan dengan baik dan mendukung perkembangan perekonomian negara.
Ketua Umum GAPKI Eddie Martono mengatakan saat ini banyak hal yang terjadi dan menjadi isu yang sangat merugikan keberadaan industri kelapa sawit. Padahal, industri kelapa sawit diidentikkan sebagai industri strategis yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian perkembangan negara.
Informasi Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa sektor kelapa sawit merupakan salah satu penopang utama perekonomian negara dengan kontribusi signifikan terhadap energi terbarukan, pangan, dan industri oleokimia. Sebagai salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia, industri minyak sawit di Indonesia menyumbang sekitar 25% minyak nabati dunia dan 59% dari seluruh produksi minyak sawit di seluruh dunia.
Pada tahun 2023, total produksi minyak sawit Indonesia sebesar 47,08 juta ton. Dalam cerita ini, 10,2 juta ton minyak sawit ditujukan untuk konsumsi pangan dalam negeri, 2,3 juta ton ditujukan untuk industri oleokimia, dan 10,6 juta ton ditujukan untuk biodiesel. Sisanya sebanyak 23,98 ton kelapa sawit ditujukan untuk pasar ekspor. Selain memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan nasional, industri kelapa sawit juga memberikan banyak lapangan kerja bagi 16 juta orang, termasuk petani kecil di seluruh tanah air.
Mengingat industri kelapa sawit sangat aktif, Eddy berharap sudah tiba waktunya untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit secara keseluruhan. “Perlu dibentuk organisasi khusus yang menangani sawit agar pemerintah mendapat manfaat karena fokus pada satu organisasi,” kata Eddy dalam keterangannya di Jakarta, Senin (18/11/2024).
Selain itu, Eddie menanggapi penelitian yang diterbitkan oleh koalisi masyarakat sipil (Proggres Kalteng, Walhi Kalteng, YMKL, TBBI, TuK Indonesia) yang menyebutkan adanya praktik buruk di perkebunan kelapa sawit di Seruyan, Kalimantan Tengah (Kalimantan Tengah). Organisasi tersebut menyatakan bahwa penanaman kelapa sawit di kawasan hutan berdampak buruk terhadap lingkungan, adanya ketidakadilan dalam pengembangan lahan plasma, dan seringnya konflik lahan akibat pembelian tanah tanpa persetujuan warga di masa lalu.
Eddy menjelaskan, situasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan permasalahan yang dihadapi perkebunan kelapa sawit di provinsi lain. Permasalahan bermula pada tahun 2003, ketika ada surat dari Dirjen Perencanaan yang menyatakan bahwa kawasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang disebutkan dalam laporan koalisi masyarakat sipil bukanlah kawasan hutan. “Tetapi pada tahun 2005 dihapuskan oleh Menteri Kehutanan dan undang-undang tersebut digunakan dengan cara yang aneh,” kata Eddy.
Hal inilah yang menimbulkan permasalahan pada perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Awalnya kawasan tersebut dikatakan bukan kawasan hutan, namun kemudian diubah menjadi kawasan hutan setelah ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menggarapnya.
Terkait persoalan keakuratan gaji para buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, Eddy mengajak mereka mengecek langsung ke lapangan. Jika ada pekerja lapangan yang digaji sesuai ketentuan yang berlaku, menurut Eddy, pihak Puskesmas setempat akan menindak perusahaan tersebut.
Untuk mencari solusi permasalahan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, GAPKI terus melakukan koordinasi dengan pemerintah. Misalnya, kata Eddy, anggota GAPKI yang sudah tidak bisa lagi melakukan kegiatan plasma melalui kegiatan usaha produktif (KUP), masih bisa menanam kelapa sawit dengan membagikan bibit kelapa sawit.
Bahkan mereka mendampingi mulai dari penanaman hingga pemeliharaan, termasuk penyediaan sentra produksi pertanian dan bangunan, kata Eddy.
Sementara itu, Anggota Komite IV DPR Firman Subagyo menegaskan, seluruh pihak yang terlibat di industri sawit harus mematuhi undang-undang yang ada. Firman mengatakan, industri kelapa sawit telah memberikan kontribusi yang besar bagi negara. “Namun, keterlibatan masyarakat lokal tidak bisa diabaikan,” ujarnya.
Firman juga menegaskan, sebagai negara berdaulat, Indonesia harus selalu mengalah pada tekanan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan pihak asing atau lembaga swadaya masyarakat asing karena alasan dan kepentingan tertentu. “Undang-undang harus diterapkan baik oleh pengusaha, masyarakat maupun swasta, yang melanggar harus diadili,” kata Firman.
Menanggapi temuan koalisi masyarakat sipil, Firman menyebut peran DPR adalah menggembalakan domba. Namun hal itu harus berdasarkan bukti dan bukan hanya karena tekanan dari organisasi swasta. “Kami memprioritaskan dan mendengarkan langsung keluh kesah masyarakat,” ujarnya. (*)