Laporan Reporter geosurvey.co.id, Rizki Sandi Saputra
geosurvey.co.id JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Adies Kadir menyebut pihaknya terkejut dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI terkait penghapusan ketentuan UUD Presiden.
Sebab, kata Adies, beberapa gugatan terkait obligasi tersebut sudah dibatalkan.
Namun, baru kali ini perkara tersebut diterima hakim Mahkamah Konstitusi.
“Putusan MK ini merupakan sebuah anugerah yang mengejutkan di awal tahun 2025, setelah puluhan perkara, kalau tidak salah selalu ada sekitar 32 atau 33 perkara yang diajukan ke MK ditolak dan kemudian ditolak. ini setahun sekali. Sebab kalau tidak salah saya dikasih nomor PU 62,” kata Adies saat berada di halaman Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, Jakarta, Jumat (3/1/2025) setuju.
Namun Ketua Umum Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pendiri Partai Golkar, Kerja Sama Keluarga (MKGR), mengatakan partainya akan bertindak sesuai keputusan MK.
Selain itu, keputusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat serta harus ditaati.
“Kami akan mendengarkan keputusan ini dan melaksanakannya. Kami akan mengikuti semua keputusan yang diambil oleh hakim Mahkamah Konstitusi.”
Wakil Ketua DPR RI berharap keputusan ini bisa menjadi nafas baru bagi proses demokrasi di Indonesia.
“Kami berharap keputusan ini memberikan kehidupan baru bagi sistem politik demokrasi di negara kita NKRI, ini harapan kita.”
Tak ayal, yang terjadi justru sebaliknya, yakni kisruh baru terjadi pada proses pemilihan presiden.
Pasalnya dengan keputusan tersebut, seluruh partai politik peserta pemilu berhak mengusung calon presiden dan wakil presiden, berapa pun jumlah kursi pada pemilu legislatif 2024.
“Tidak mungkin akan menimbulkan kekacauan baru dalam sistem demokrasi kita di Indonesia, memunculkan permasalahan baru. Dengan adanya keputusan ini, saya berharap sistem, demokrasi kita semakin membaik.”
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden yang sebelumnya diatur oleh partai politik yang menguasai 20 persen kursi DPR atau 20 persen kursi DPR dilakukan. , hapus bendungan Presiden (PT). 25 persen suara sah nasional pada pemilu legislatif sebelumnya.
Putusan ini merupakan permohonan perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia dan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Permohonan para pemohon telah terkabul sepenuhnya, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).
Mahkamah Konstitusi menyatakan, dalam Pasal 222 Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Calon Presiden dan Wakil Presiden (pemilihan presiden) bahwa pencalonan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. tidak punya
Suhartoyo mengatakan, “Keluaran norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Dalam penilaian hukumnya, MK mencatat dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa ‘sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah secara nasional’ pada pemilu anggota DPR sebelumnya’. dideklarasikan. Pemilu tersebut menghilangkan dan menghilangkan hak konstitusional partai peserta pemilu yang tidak mempunyai persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai penetapan ambang batas tersebut tidak didasarkan pada perhitungan yang jelas dan kebijaksanaan yang kuat.
Satu hal yang bisa dipahami Mahkamah, penetapan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan partai politik utama atau paling tidak memberikan keuntungan bagi partai politik peserta pemilu untuk mendapatkan kursi DPR.
Mahkamah Konstitusi menilai penetapan ambang batas pencalonan presiden menimbulkan konflik kepentingan.
Mahkamah juga menilai pembatasan tersebut dapat merugikan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi oleh kurangnya pasangan calon alternatif yang memadai.
Selain itu, setelah mengkaji secara cermat arah pergerakan politik terkini di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menemukan adanya kecenderungan untuk selalu mengupayakan hanya ada 2 pasangan calon pada setiap pemilihan presiden dan wakil presiden.
Meski memiliki pengalaman pemilu langsung yang hanya memiliki 2 pasangan calon, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang jika tidak diantisipasi akan mengancam keutuhan kebhinekaan Indonesia.
Jika prosedur ini diterapkan, maka pemilu presiden dan wakil presiden bisa saja terikat pada satu calon.