Penulis geosurvey.co.id Igman Ibrahim melaporkan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekgen) Partai Golkar Mohammad Sarmuji mengaku partainya terkejut Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen.
Padahal, kata Sarmuji, Mahkamah Konstitusi telah banyak menolak gugatan yang diajukan berbagai pihak terkait Presidential Threshold.
Ia mengatakan, ada 27 perkara yang dirujuk ke Mahkamah Konstitusi.
“Putusan MK ini sangat mengejutkan karena putusan MK pada 27 tahun lalu selalu terbalik,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, Kamis (2/1/2025).
Sarmuji menegaskan, perdebatan di Mahkamah Konstitusi sebelumnya masih mengenai pembatalan perubahan daerah pencalonan presiden.
Ia pun mengaku tak paham mengapa MK mengizinkan persidangan tersebut.
“Dalam 27 putusannya, Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat yang sama dengan pembentuk undang-undang, yaitu perlunya penerapan ambang batas presidensial untuk mendukung efektifitas penyelenggaraan sistem presidensial,” ujarnya.
Sekadar informasi, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan batasan masa jabatan presiden yang ditetapkan dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan ambang batas tersebut merupakan permohonan Perkara 62 yang diajukan Annika Maya Octavia dan beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
“Menerima sepenuhnya permohonan para pemohon,” kata Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, Kamis (2/1/2025) di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta Pusat.
Mahkamah Konstitusi memutuskan Pasal 222 Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur mengenai pencalonan calon ganda atau pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditolak menjadi Undang-Undang Tahun 1945, tidak mempunyai kekuatan hukum.
“Pengukuhan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum,” kata Suhartoyo.
Dalam pendapat hukumnya, MK menyebut istilah ‘mendapatkan 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah negara pada pemilihan anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017. pemilu menutup dan mencabut hak konstitusional peserta politik yang tidak mengikuti pemilu nasional keabsahan atau persentase kursi DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menyimpulkan penetapan besaran ambang batas tidak berdasarkan statistik yang jelas dan obyektif.
Salah satu hal yang akan menjadi pertimbangan Mahkamah adalah apakah akan menetapkan besaran atau persentase yang akan memberikan keuntungan lebih besar kepada partai politik besar, atau paling tidak menguntungkan partai politik peserta pemilu yang mempunyai kursi di DPR.
Mahkamah Konstitusi menyatakan kepentingan penetapan ambang batas jabatan presiden bermasalah.
Mahkamah juga berpendapat bahwa pembatasan tersebut dapat menghilangkan hak dan kedaulatan politik masyarakat karena dibatasi oleh kurangnya pasangan calon.
Selain itu, setelah mempelajari arah pergerakan politik baru di Indonesia, Mahkamah Konstitusi memandang perlu untuk terus mengupayakan hanya ada 2 pasangan calon pada setiap pemilihan presiden dan wakil presiden.
Padahal pengalaman sebelumnya menyelenggarakan pemilu yang adil, dengan hanya 2 pasangan calon, masyarakat sudah terjerumus ke dalam polarisasi, jika tidak diperhatikan maka keutuhan keberagaman Indonesia akan terancam.
Jika ketentuan ini disetujui, maka pemilu presiden dan wakil presiden tetap bisa diikat pada calon yang sama.
MK juga melihat kecenderungan adanya calon tunggal dalam situasi pemilu presiden lokal, sehingga selalu muncul calon tunggal atau kotak kosong.
Artinya, mempertahankan ambang batas presiden cenderung menghambat pelaksanaan pemilihan presiden langsung secara populer karena memberikan banyak pilihan pasangan calon.
Hakim Saldi Isra mengatakan, “Jika hal ini terjadi, maka makna pokok pasal 6A ayat (1) UUD 1945 akan hilang atau berubah.”
Dalam kaitan ini, Mahkamah Konstitusi juga menilai pembentuk undang-undang yang mengubah undang-undang pemilu dapat memanipulasi konstitusi. Ini termasuk:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau jumlah suara sah yang diperoleh di tingkat nasional.
Dalam pencalonan calon Presiden dan Wakil Presiden, partai politik peserta pemilu dapat ikut serta apabila tidak adanya gabungan partai politik sehingga mengakibatkan mayoritas partai politik atau gabungan partai politik, maka calon Presiden dan wakil presiden mempunyai hak untuk ikut serta. ruang terbatas. perolehan suara elektoral yang rendah.
Partai politik peserta pemilu yang tidak mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden dilarang mengikuti pemilu periode berikutnya.
Terakhir, dengan adanya perubahan UU 7/2017, maka terciptanya kerangka hukum yang disebut dengan menggunakan konsep relevansi DPR. mencakup partisipasi seluruh pihak yang berkepentingan terhadap penyelenggara pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi. Partisipasi masyarakat.
“Ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 terbukti tidak sejalan dengan prinsip persamaan hak dan pemerintahan, hak untuk berjuang bersama, dan kebenaran hukum yang mutlak,” kata Saldi. .