TRIBUNEWS.COM – Hari ini, Selasa (11/5/2024), Hari Cinta dan Kasih Satwa Nasional (HCPSN) diperingati.
Dilansir menlhk.go.id, peringatan Hari Puspa dan Cinta Satwa Nasional ini sesuai dengan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 yang ditandatangani Presiden Soeharto.
Sementara itu, tujuan diselenggarakannya Puspa dan Hari Cinta Satwa Nasional adalah untuk memberikan kesadaran kepada masyarakat, menjaga dan melestarikan puspa dan satwa nasional.
Untuk memeriahkan HCPSN 2024, Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta) juga menampilkan foto-foto satwa untuk memperingatinya.
Namun gambar yang ditampilkan justru menjadi sorotan karena diyakini foto hewan yang ditampilkan tersebut bukan milik Indonesia.
Berdasarkan penelusuran Tribunnews, gambar burung yang ditampilkan di Bandara Soetta ini sama dengan Scarlet Macaw atau Scarlet Macaw asli Amerika Tengah dan Selatan. Gambar binatang yang dipajang di terminal kedatangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan gambar burung macaw merah (Tribunnews/ist – Freepik.com/wirestock)
Terkait hal ini, ahli ekologi satwa liar, Sunarto, mengungkapkan keprihatinannya.
Menurutnya, gambar binatang asli Indonesia sebaiknya dipamerkan di sana.
Flora dan fauna serta berbagai kekayaan alam Indonesia patut dipamerkan di sana,” ujarnya kepada geosurvey.co.id, Selasa.
Kejadian seperti ini, kata Sunarto, bukan kali pertama terjadi dan penyebabnya bisa bermacam-macam.
“Saya curiga salah satunya adalah ketidaktahuan atau kemalasan mencari. Tampaknya lebih mudah mencari foto dan video flora dan fauna di luar Indonesia, khususnya ‘Afrika, Amerika, dan India,’ jelasnya.
Sunarto mengatakan, hal ini menjadi tantangan bagi banyak orang.
Namun, menurutnya, momen ini harus dijadikan kesempatan untuk melibatkan pengelola dan peminat kawasan, seperti pemerhati alam dan satwa liar serta fotografer, untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
“Ini merupakan tantangan dan harus disambut sebagai peluang untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk pengelola kawasan dan kalangan amatir seperti pemerhati alam dan satwa liar serta fotografer,” ujarnya.
Namun sejauh ini para amatir merasa kurang nyaman.
Bahkan, mereka cenderung merasa terhambat dalam mendokumentasikan flora dan fauna Indonesia, khususnya di kawasan konservasi mereka sendiri.
Pasalnya, tarif atau prosedur yang diterapkan di kawasan lindung sangat membatasi aktivitas para pecinta fotografi.
Padahal, para amatir harus didukung dan difasilitasi untuk membantu mendokumentasikan kekayaan flora dan fauna.
“Apa yang terjadi saat ini adalah banyak amatir yang merasa kurang nyaman, dan mungkin merasa malu, dengan kemampuan mereka mendokumentasikan kekayaan flora dan fauna di alam, khususnya kawasan konservasi.”
“Pejabat daerah baru-baru ini menetapkan biaya atau prosedur yang cenderung membatasi aktivitas para pecinta fotografi.”
“Mereka justru harus didukung, difasilitasi, dan dikerjasamakan untuk membantu mendokumentasikan dan meningkatkan kesadaran serta partisipasi masyarakat terhadap kelestarian flora dan fauna Indonesia,” jelas Sunarto.
Sejauh ini pihak Bandara Soetta belum mendapat konfirmasi terkait hal tersebut. Krisis tiga planet
Dalam rangka memperingati Hari Puspa Nasional dan Hari Cinta Satwa, Sunarto juga menyoroti krisis triple planet.
“Secara global, kita sedang mengalami krisis triple planetary. Salah satunya adalah menurunnya keanekaragaman hayati (populasi flora dan fauna asli),” ujarnya.
Sebagai informasi, Triple Planetary Crisis merupakan tiga krisis besar yang terjadi secara bersamaan di bumi kita, yaitu krisis iklim, krisis keanekaragaman hayati, dan krisis polusi.
Ketiga krisis ini saling terkait dan saling memperkuat, sehingga menciptakan tantangan yang kompleks dan mendalam terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan manusia.
Tapi, kata Sunarto, masih ada peluang untuk mengatasi permasalahan tersebut, termasuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan meningkatkan pendanaan.
“Kami (Indonesia), sebagai hotspot keanekaragaman hayati, mempunyai tantangan tersendiri. Namun, ada juga banyak peluang, seperti peningkatan kesadaran global, pendanaan program, dan lain-lain.”
“Meski masih banyak tantangan yang dihadapi, tidak ada kekurangan contoh upaya konservasi dan pemulihan yang membuahkan hasil positif. Hal-hal inilah yang patut ditiru dan dikembangkan.
Oleh karena itu, Sunarto menekankan pentingnya partisipasi dan peran semua pihak dalam menangani permasalahan ini.
Menurut Sunarto, hal ini bisa menjadi kunci, khususnya di kalangan generasi muda.
“Partisipasi semua pihak, khususnya generasi muda, sangat penting. Konservasi tidak bisa dilakukan sendiri, tidak boleh hanya sekedar jargon, tapi harus dilaksanakan secara menyeluruh,” ujarnya. Sejarah Hari Puspa Nasional dan Cinta Satwa
Merujuk pada PPID Kementerian Lingkungan Hidup, sejarah Hari Hewan dan Nasional Puspa Cinta dimulai pada tahun 1993 oleh Presiden Soeharto melalui Perintah Eksekutif (Keppres) Nomor 4 Tahun 1993 tentang Hewan dan Bunga Nasional.
Tujuan diselenggarakannya HCPSN adalah untuk meningkatkan perlindungan flora dan fauna di Indonesia.
Peringatan ini juga diharapkan dapat membangkitkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap flora dan fauna Indonesia.
Karena kenyataannya di Indonesia banyak sekali flora dan fauna Indonesia yang harus dilindungi.
Memang keberadaan dan populasi beberapa flora dan fauna di Indonesia tergolong langka.
Penyebabnya bermacam-macam, seperti hilangnya habitat, perubahan lingkungan, eksploitasi satwa liar, pencemaran lingkungan, perburuan liar, dan lain-lain.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, setidaknya terdapat 919 jenis tumbuhan dan satwa langka yang dilindungi Indonesia.
Sedangkan catatan sejarah menyebutkan ada tiga jenis Puspa nasional dan tiga jenis hewan nasional, yaitu:
Bunga Melati Puspa Nasional sebagai Anggrek Bulan Puspa Nasional sebagai Puspa Pesona Bunga Padma Raksasa atau Rafflesia arnoldi sebagai Puspa Langka.
Hewan Nasional Hewan Nasional Komodo Ikan Mas Siluk Pesona Hewan Elang Jawa Hewan langka
(geosurvey.co.id/Rifqah)