geosurvey.co.id, JAKARTA – Para ekonom dan pakar hukum mengkritik seriusnya dampak Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2018. 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan pidato politiknya tanpa keseragaman kemasan rokok sederhana atau identitas merek sebagaimana tercantum dalam rancangan Menteri Kehakiman. Peraturan kesehatan (proyek Permenkes). Andry Satrio Nugroho, Direktur Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi Institut Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan (INDEF), mengatakan penelitian INDEF menunjukkan bahwa rencana kebijakan standarisasi rokok telah kehilangan dampak ekonominya. Kemasan tanpa identitas merek bisa menghabiskan biaya hingga Rp308 triliun. Menurut Andry, rencana peraturan tersebut juga akan meningkatkan penyebaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa adanya merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mirip dengan produk legal komersial.
“Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi khawatir dengan desain kemasan yang rumit. Dalam konferensi pers bertajuk ‘Mengejar pertumbuhan ekonomi 8%: tantangan bagi industri tembakau’, ia mengatakan: “Peraturan pengemasan tanpa identitas merek akan memungkinkan produk langsung dipasarkan dan pemerintah akan kesulitan memantau dan mengidentifikasi produk. “Dia berkata.” Sesuai dengan “kebijakan baru” di Jakarta pada Selasa, 5 November 2024. Apalagi, Andry mengatakan dari sisi pendapatan negara, jika aturan tersebut disetujui, ada potensi kerugian sebesar Rp 160,6 triliun atau sekitar 7%. pendapatan pajak. Sulitnya memenuhi target pendapatan negara. Jika aturan tersebut diterapkan, target pendapatan negara sebesar Rp 218,7 triliun pada tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai. Andry melanjutkan, hal ini karena industri hasil tembakau memberikan kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, sektor ini menyumbang hingga 6,9% terhadap PDB, namun angka tersebut terus menurun setiap tahunnya. Hal ini terutama mengingatkan kita bahwa industri tembakau adalah industri berskala besar yang menyerap tenaga kerja. Berdasarkan data INDEF, sekitar 2,29 juta orang atau sekitar 1,6% dari seluruh pekerja akan terkena dampak langsung dari aturan ini.
“Pada tahun 2019, sektor ini menyerap 32% dari seluruh tenaga kerja manufaktur,” jelasnya. “Namun, tekanan peraturan terus membuat pekerja di sektor ini rentan terhadap dampak keputusan kebijakan terkait industri produk tembakau.” Baginya, diskusi antarkementerian perlu dilakukan mengingat dampak globalnya, karena kebijakan ini tidak hanya menjadi kewenangan Kementerian Keuangan atau Kesehatan saja, namun juga memerlukan peran serta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Tenaga Kerja. Ia meyakini ketentuan zonasi yang melarang penjualan tembakau dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan dan area bermain anak akan berdampak pada operator ritel yang sebelumnya beroperasi di kawasan tersebut, “untuk menjaga keseimbangan antara peraturan kesehatan dan kelangsungan usaha. ditinjau,” tegasnya. Sementara itu, Andry mengatakan, penting untuk fokus pada empat aspek utama keberlanjutan sektor ini: pertama, pengendalian pendapatan nasional. Keempat, rokok ilegal; Ini menyenangkan.
Ia menambahkan, “Peraturan ini harus lebih fokus pada empat aspek tersebut agar dampaknya tidak hanya sepihak dan stabilitas perekonomian dapat tetap terjaga.”
Sementara itu, rancangan peraturan Kementerian Kesehatan yang mengatur kemasan seragam rokok tanpa identitas merek semakin dipandang bertentangan dengan kedaulatan ekonomi Indonesia dan merupakan ancaman bagi industri produk tembakau. Pandangan ini juga diamini oleh Dr. Achmad Yani, guru besar hukum internasional di Universitas Indonesia dan rektor universitas tersebut. Hikmahanto Juwana. Ia menjelaskan, penerapan kemasan rokok seragam tanpa identitas merek sebenarnya serupa dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada tahun 2012. Saat itu, Indonesia termasuk salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut. “Sekarang kami ingin mempraktikkan apa yang pernah kami lawan. “Ini menimbulkan banyak kebingungan,” kata Hikmahanto. Hikmahanto menegaskan, Indonesia sebagai produsen tembakau tidak boleh mengikuti peraturan yang ditetapkan negara lain, terutama yang berasal dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). ekspor devisa: “Kita adalah negara penghasil tembakau, namun kebijakan ini dapat mengasingkan produk kita dari pasar internasional,” tambahnya. Hal penting yang disoroti oleh Hikmahanto adalah bahwa kebijakan ini dapat merugikan pelaku ekonomi yang ingin membedakan produknya, dengan menyoroti kebutuhan tersebut melindungi kedaulatan dan memperhatikan kepentingan perusahaan dalam negeri yang berjuang bersaing di pasar global dengan mengedepankan identitas mereknya. Bagaimana mereka bisa bersaing jika identitas itu diambil?” Ia menambahkan: Hikmahanto juga mengatakan bahwa sangat penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini terhadap masyarakat, dan menambahkan: “Jika peraturan ini diterapkan, perokok akan beralih ke produk-produk terlarang yang tidak terkontrol,” kata Hikmahanto, juga menyoroti perlunya peraturan menteri. interkoordinasi dalam merumuskan kebijakan untuk mendukung kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri serta menolak campur tangan asing dalam menentukan arah kebijakan nasional, yang diprakarsai oleh Presiden Prabowo Subianto. “Indonesia harus tangguh dan berdaulat dalam menentukan arah kebijakan kita,” tutupnya.