Tribun News – Pemerintah Israel telah mengusulkan kesepakatan damai yang ditengahi AS untuk mengakhiri perang di Lebanon.
Usulan tersebut diumumkan pada Senin (21/10/2024) oleh Perwakilan Khusus AS, Amos Hochstein.
Dalam laporan tertulis yang dikutip The Times of Israel, Hochstein mengungkapkan, pekan lalu pemerintah Israel menyerahkan kepada Axios Media dokumen solusi diplomatik konflik Lebanon kepada Amerika Serikat.
Dalam dokumen tersebut, Israel berjanji untuk mengakhiri perang di Lebanon, namun hanya jika tentara Israel (IDF) diizinkan untuk berpartisipasi dalam aspek penegakan hukum di negara tetangganya.
Tak hanya itu, Israel juga meminta agar angkatan udaranya diizinkan masuk dan keluar wilayah udara Lebanon tanpa batas waktu.
Baik Gedung Putih maupun Departemen Luar Negeri belum mengomentari laporan Axios tersebut.
Sementara itu, utusan khusus Gedung Putih, Amos Hochstein, sedang dalam perjalanan ke Beirut untuk membahas solusi diplomatik terhadap konflik tersebut.
Meski usulan perdamaian Israel belum diterima oleh otoritas Lebanon, Israel mengklaim permintaan tersebut bertujuan untuk mencegah pengembalian senjata kepada Hizbullah dan mengambil kendali fasilitas militer di sepanjang perbatasan.
“Pesan utama kami adalah jika Angkatan Darat Lebanon dan UNIFIL berbuat lebih banyak, IDF akan berbuat lebih sedikit dan sebaliknya,” kata pejabat Israel tersebut. Israel menyerang Beirut
Konflik antara Israel dan Hizbullah meningkat setelah kelompok militan Lebanon berulang kali melakukan serangan di wilayah perbatasan Israel.
Baru-baru ini, kediaman Perdana Menteri Netanyahu di Kaisarea, sebelah utara ibu kota Tel Aviv, menjadi sasaran serangan pesawat tak berawak Hizbullah akhir pekan lalu.
Al Jazeera mengatakan tiga kendaraan udara tak berawak, atau drone ‘Sayed 107’ yang memuat bahan peledak, menyerang kediaman Netanyahu di utara wilayah pendudukan.
Tidak ada korban jiwa karena Netanyahu dan istrinya Sara Netanyahu tidak ada di rumah saat serangan terjadi.
Hizbullah mengungkapkan, serangan itu mereka lakukan untuk membalas kematian pemimpin Hamas Yahya Sanur yang dibunuh Israel.
Menanggapi serangan itu, Netanyahu bersumpah akan membalas dendam.
Menurut laporan, Israel memerintahkan evakuasi warga di pinggiran selatan ibu kota Lebanon, Beirut, pada Sabtu (19/10/2024).
Serangan udara Israel terhadap markas Hizbullah adalah yang pertama dalam tiga hari.
Serangkaian serangan udara terjadi setelah Israel mengancam akan menyerang “aset ekonomi penting” Hizbullah di Lebanon.
“Angkatan Udara akan melakukan serangan ekstensif terhadap sasaran yang menyasar aset-aset ekonomi yang terkait dengan Hizbullah di pinggiran selatan Beirut,” kata juru bicara militer Daniel Hijri pada konferensi pers.
“Dalam beberapa menit, kami akan memperingatkan penduduk di wilayah selatan dan Lembah Bekaa untuk meninggalkan banyak bangunan di dekat fasilitas Hizbullah,” kata juru bicara militer Ovichai Adrai kepada X dalam bahasa Arab. Amerika meminta Israel menghancurkan Lebanon seperti Gaza
Di sisi lain, pemerintah Amerika Serikat pimpinan Joe Biden telah mengeluarkan peringatan keras kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu agar tidak menghancurkan Lebanon seperti Gaza.
Penekanan tersebut diungkapkan langsung oleh Matthew Miller, juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
“Saya ingin menekankan bahwa operasi militer seperti Gaza tidak boleh dilakukan di Lebanon dan konsekuensinya akan sama seperti di Gaza,” kata Miller seperti dikutip Anadolu.
Miller mengajukan permintaan tersebut di tengah meningkatnya penderitaan warga sipil Lebanon menyusul serangan darat Israel di wilayah tersebut pada 1 Oktober 2024.
Israel melancarkan serangan pertamanya di daerah yang tidak dijaga dekat Byblos, sebelah utara Beirut.
Pemerintah Zionis beralasan serangan itu ditujukan untuk menyasar situs bawah tanah Hizbullah di wilayah sipil.
Israel juga mengklaim menyerang Hizbullah untuk memaksa warganya yang mengungsi ke utara (perbatasan dengan Lebanon) untuk kembali.
Namun, korban sipil, termasuk 127 anak-anak, meningkat menjadi lebih dari 2.000 orang akibat serangan ini.
Serangan brutal Israel juga menyebabkan pengungsian massal, dengan lebih dari 400.000 orang terpaksa meninggalkan Suriah dalam dua minggu terakhir.
Badan-badan kemanusiaan, termasuk Badan Pengungsi PBB (UNHCR), memperingatkan kemungkinan krisis kemanusiaan di kedua sisi perbatasan.
(geosurvey.co.id/Numira Unia)