geosurvey.co.id, JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut cuitan Septia Dwi Pertiwi di Twitter sengaja dibuat untuk mencemarkan nama baik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF karena bersikap tidak baik.
Hal itu disampaikan jaksa penuntut umum dalam sidang replika agenda sidang dugaan pencemaran nama baik mantan pegawai PT Lim Sekavan yang didakwa Septi Dewi Pertiwi, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (1/8/2021). 2025). ).
Perbuatan terdakwa sengaja dilakukan untuk mencemarkan nama baik saksi Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF terkait pengurusan usaha perusahaan (PT Lima Sekawan Indonesia atau Hive Five). Dan itu bukan merupakan perbuatan untuk kepentingan umum, kata jaksa dalam persidangan.
Jaksa mendalilkan hal itu karena dilakukan tidak proporsional sesuai hukum dan melanggar hak individu orang lain. Sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Tim penasihat hukum terdakwa menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa saat mempublikasikan postingan atau komentar di aplikasi Twitter adalah untuk kepentingan umum. Sehingga tidak ada pegawai atau orang lain yang merasa haknya dilanggar sesuai perasaan terdakwa. ,” kata jaksa.
Jaksa kemudian menjelaskan, UU ITE secara hukum mengartikan kepentingan umum sebagai perlindungan terhadap masyarakat yang diwujudkan melalui hak berekspresi dan demokrasi. Misalnya melalui demonstrasi atau kritik.
Bahwa tim penasihat hukum terdakwa mengusut tuntas fakta persidangan karena yang dilakukan terdakwa bukan untuk kepentingan umum, jelasnya.
Menurut JPU, perbuatan terdakwa merupakan opini negatif yang subjektif. Terdakwa sengaja mencoreng nama baik saksi Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF yang berperilaku buruk.
Kasus Duduk Septia vs John LBF
Sekadar informasi, Septia saat ini tengah didakwa dalam sidang pencemaran nama baik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dia didakwa oleh Henry Kurnia Adhi Sutikno atau John LBF selaku pimpinan PT Lima Sekawan Indonesia. John LBF merasa sakit hati dengan tersebarnya informasi tentang perusahaannya oleh Septia.
Septia diketahui membeberkan pemotongan gaji sepihak, pembayaran di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP), lembur, serta kekurangan BPJS kesehatan dan gaji di akun X (Twitter) miliknya.
John LBF kemudian melaporkan cuitan Septia tersebut ke Polda Metro Jay karena diduga melanggar UU ITE.
Berdasarkan catatan, Septia ditahan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Agustus 2024 tanpa alasan apa pun. Ia menjadi tahanan kota setelah persidangan digelar pada 19 September 2024.
Dia didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik dan Pasal 36 UU ITE yang bisa terancam hukuman hingga 12 tahun penjara.
Setelah majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi yang diajukan kuasa hukum Septia. Sidang dugaan pencemaran nama baik terus berlanjut.
Septia Dwi Pertiwi divonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya menuntut mantan karyawan PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) Septia Dwi Pertiwi dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp50 juta dengan subsider tiga bulan penjara.
Permintaan tersebut dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2024).
Jaksa mendakwa Septia melanggar Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena diduga mencemarkan nama baik mantan majikannya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.
Pengacara Septia dari Persatuan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Jaidin Nainggolan mengkritik tindakan jaksa.
“Jaksa mengabaikan saksi terdakwa atau tidak mengatakan bahwa ada saksi dari kami yang menjelaskan bahwa apa yang disampaikan Septia di media sosial adalah benar,” kata Jadiin dalam keterangannya, Kamis (12/12/2024). .
“Hal ini dibuktikan oleh dua saksi yang kami hadirkan, yang sama sekali tidak dihiraukan oleh pihak penuntut. “Jaksa hanya mendengar keterangannya dari pelapor sendiri atau dari Henry atau John LBF,” lanjutnya.
Pendapat senada diungkapkan Kepala Departemen Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyin, yang sejak awal mengikuti Septia.
Dia menilai jaksa mengabaikan keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan.
“Keterangan seluruh ahli yang dihadirkan dalam persidangan tidak menjadi bahan pertimbangan seluruh jaksa,” ujarnya.
Dia menjelaskan, pakar ITE misalnya sudah menegaskan bahwa dalam Peraturan Bersama tentang Pedoman Penerapan UU ITE, nilai, opini, hasil tes atau fakta tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana.
Selain itu, para pakar hak asasi manusia mengatakan bahwa mengkritik orang-orang yang mempunyai kekuasaan seperti korporasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang tidak boleh dikriminalisasi.
Septia pun mengaku kecewa dengan permintaan jaksa yang mengabaikan bukti-bukti yang terungkap di persidangan.
“Cukup mengecewakan melihat tuntutan JPU, karena yang (saya) sebutkan (di Jadi saya kecewa sekali,” kata Septia.