geosurvey.co.id, JAKARTA – Telkom Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan dengan menerapkan prinsip-prinsip ESG.
Senior Vice President Group Sustainability and Corporate Communications PT Telkom Indonesia Ahmad Reza menyatakan tujuan Telkom adalah menciptakan nilai jangka panjang yang memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui solusi dan layanan inovatif.
Untuk membantu pemerintah mencapai nol emisi pada tahun 2060, kata Reza, Telkom Indonesia menjalankan kampanye Go Zero.
Reza mengatakan kampanye ini terdiri dari tiga pilar yang diadaptasi dari ESG: Our Planet, Our People, dan Our Business.
“Telkom saat ini fokus pada penurunan emisi gas rumah kaca 1 dan 2 serta penerapan pengelolaan limbah dalam pilar Our Planet. “Sedangkan di bawah pilar ‘Our People’, Telkom menerapkan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi, dan yang terbaru di bawah pilar ‘Our Business’, Telkom fokus pada privasi dan keamanan siber,” ujar Ahmad Reza dalam pembicaraan yang berkolaborasi dengan Green Colabs. dengan Katadata Green dan FISIP, Universitas. di Indonesia, Kampus UI, Depoke, Jawa Barat, Kamis (28/11/2024).
Ahmad Reza menambahkan, ESG bukan hanya menjadi beban perusahaan, namun menjadi tanggung jawab bersama.
Untuk itu Telkom Indonesia melibatkan banyak negara dalam penerapan praktik ESG melalui kampanye Go Zero.
“Banyak orang mungkin sudah memahami istilah efek rumah kaca. Saya hanya ingin mengatakan bahwa yang terjadi saat ini bukanlah apa yang kita dapat dari orang tua atau kakek dan nenek kita, melainkan pinjaman dari anak cucu kita kelak. “Jika masalah ini tidak diselesaikan maka anak cucu kita akan terkena dampaknya,” jelas Reza.
Kebakaran hutan merupakan penghasil karbon dioksida terbesar di Indonesia.
Menurut Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), emisi karbon dioksida yang dihasilkan sebesar 924.853 gigaton setara CO2.
Imam Setyo Hartanto, Kepala Subkelompok Pengembangan Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), mengungkapkan Indonesia memiliki cadangan gambut yang sangat besar, yaitu 57 gigaton.
Cadangan gambut ini merupakan aset penting yang harus dijaga dengan baik untuk mencegah risiko kebakaran gambut.
Kebakaran lahan gambut tidak hanya merusak lingkungan, namun juga melepaskan sejumlah besar karbon ke atmosfer, yang dapat memperburuk pemanasan global.
Lebih lanjut Imam menjelaskan, gambut mempunyai kemampuan menyerap karbon yang luar biasa.
Menurutnya, gambut mampu menyerap karbon hingga 20 kali lebih banyak dibandingkan hutan hujan biasa.
Oleh karena itu, perlindungan dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan merupakan faktor penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Untuk mencegah kebakaran lahan gambut, kata Imam, ada tiga langkah utama yang harus dilakukan.
Ketiga hal tersebut adalah hidrasi, revitalisasi, dan revitalisasi.
Upaya terpadu ini merupakan langkah strategis untuk menjaga ekosistem lahan gambut yang kaya karbon sekaligus mencegah dampak negatif akibat degradasi lahan tersebut.
“Rewetting atau pembasahan lahan gambut adalah kunci pengelolaan air. “Jika gambut kering, maka akan melepaskan CO2 dan gas mudah terbakar lainnya,” kata Imam.
Rewetting adalah pembasahan kembali lahan gambut yang kering untuk menjaga kelembaban dan mencegah bahaya kebakaran. Pengairan ulang dapat dilakukan setelah pembangunan sumur.
Kedua, revegetasi, yaitu penanaman kembali tanaman di lahan gambut untuk memulihkan ekosistem.
Menurutnya, setiap lahan gambut memiliki kondisi yang berbeda-beda sehingga jenis tanaman yang dipilih juga harus disesuaikan dengan kondisi sekitar lokasi.
Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan tanaman dapat tumbuh optimal dan menjaga kelestarian ekosistem gambut.
Langkah penting lainnya adalah revitalisasi, yaitu upaya meningkatkan dan memperkuat perekonomian masyarakat sekitar lahan gambut.
Revitalisasi tidak hanya membantu menjaga kelestarian lingkungan, namun juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.