geosurvey.co.id, JAKARTA – Jumlah kejadian kekerasan yang melibatkan aparat Polri dikabarkan meningkat pada Januari hingga November 2024.
Tindakan polisi yang melanggar peraturan penggunaan senjata api atau penyalahgunaan kekerasan dalam jabatan publik.
Amnesty International Indonesia bahkan merekomendasikan DPR menggunakan hak dengar pendapat atau interpretasi untuk mengusut kasus tersebut.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya ingin mengingatkan DPR bahwa DPR berhak memulai penyidikan, hak menafsirkan, dan hak menyatakan pendapat.
Usman mencatat, belakangan ini DPR RI dianggap oleh polisi sebagai partai sayap kanan.
Ia menilai DPR saat ini merupakan pihak yang paling lemah dalam pengawasan kepolisian.
“Itulah mengapa saat ini sangat penting untuk mengingat hak bertanya dan hak menerjemahkan, karena kekuasaan di DPR untuk mengatur kepolisian sangat lemah,” ujarnya saat wawancara di kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta pada Selasa. Senin (9/12).
Dia menjelaskan, setidaknya ada lima pemeriksaan polisi.
Pertama, lanjutnya dengan melakukan pengawasan internal di kepolisian melalui Divisi Propam, Irwasum, Paminal, Irwasda atau Karo Wasidik.
Kedua, lanjutnya, pengawasan terhadap pejabat setingkat presiden termasuk pengawasan oleh Kompolnas.
Ketiga, kata dia, pengawasan terhadap DPR atau pengawasan terhadap undang-undang. Keempat, lanjutnya, diawasi oleh lembaga independen seperti Komnas HAM jika polisi melakukan pelanggaran HAM.
Kelima, pengelola dari lembaga swasta non-pemerintah.
“Yang menonjol dari rekomendasi kami di DPR adalah kerja pengawasan hukum, kerja pengawasan kebijakan Komisi XIII sepertinya tidak efektif dalam mengelola kepolisian,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti STHI Jenter Bivitri Susanti mengamini hal tersebut.
Menurut dia, hak bertanya dan hak tafsir seharusnya efektif karena DPR sudah lama “diam”.
“Karena DPR dipilih secara kolektif, kita semua tahu, sekarang ada koalisi yang sangat besar yang akan menyebabkan matinya politik kita, bisa dibilang demokrasi sudah mati,” ujarnya.
“Kalau dianalisa undang-undang yang bersifat self-governance yang didukung undang-undang itu sebenarnya sukses besar. Sebab, DPR yang seharusnya memimpin agar demokrasi tidak mati, mati dulu. Itu sebabnya dia dibunuh terlebih dahulu. bukan lagi demokrasi, tapi pemerintahan demokratis,” lanjutnya.
Anda tahu, dalam menjalankan hak bertanya di DPR perlu memenuhi sejumlah persyaratan prosedural.
Untuk itu, dia menganjurkan agar anggota DPR setidaknya bisa mengangkat dasar-dasar penggunaan hak bertanya dan hak interpretasi.
“Tetapi yang terpenting adalah para politisi sudah mulai mengangkat isu ini. Jangan hanya digunakan di podcast,” kata Bivitri.
“Kenapa kita butuh perwakilan warga kita, karena kalau kita bertanya, kalau kita posting di media sosial, dampaknya mungkin kecil. Yang tidak bisa bertanya adalah sahabat jurnalis yang tidak bisa bertanya tajam,” lanjutnya. . Direktur Eksekutif Temuan Amnesty International Indonesia Usman Hamid usai memaparkan temuan kelompoknya di kantornya di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024). (geosurvey.co.id/Gita Irak)
Amnesty International Indonesia (Amnesty) mencatat 116 insiden kekerasan dan sebanyak 29 pembunuhan di luar proses hukum yang melibatkan anggota Polri di seluruh Indonesia antara Januari hingga November 2024.
Demikian sebagian dari hasil Amnesty International Indonesia yang dipresentasikan di kantor Amnesty International di Menteng, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).
Ushwele mencatat 116 kasus kekerasan, antara lain 29 kasus pembunuhan di luar hukum, 26 kasus penyiksaan, 21 kasus penahanan ilegal, 28 kasus intimidasi dan kekerasan fisik, 7 kasus penggunaan gas air mata dan air untuk sel isolasi, -1 kasus kekerasan. penghentian obrolan dan 1 kasus hilangnya sementara.
Amnesty International juga mencatat 29 kasus eksekusi di luar hukum dan 31 kematian.
Kondisi tersebut banyak terjadi di Papua, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Aceh, dan Banten.
Amnesty International juga mencatat temuan terkait rangkaian aksi protes yang terjadi antara tanggal 22 hingga 29 Agustus 2024, dan dikeluarkannya pesan darurat di 14 kota di 10 provinsi Indonesia.
Dalam aksi tersebut, kata Usman, sedikitnya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi.
Amnesty International juga mewawancarai sejumlah saksi di enam kota yang menyaksikan kejadian tersebut.
Amnesty International juga menunjukkan banyak bukti video yang telah dikumpulkan dan diverifikasi.
Berdasarkan temuan tersebut, Amnesty International merumuskan empat kesimpulan.
Pertama, kekerasan polisi yang berulang merupakan “lubang hitam” pelanggaran hak asasi manusia.
Lanjutnya, penggunaan kekerasan yang tidak perlu dan tidak setara secara berulang-ulang dan tidak bertanggung jawab merupakan kebijakan kepolisian yang bertujuan untuk meredam segala protes terhadap kebijakan negara, pejabat atau industri strategis, dan bukan tanggung jawab pejabat yang bekerja sendiri di lapangan atau melanggar perintah pemerintah. .
Kedua, kekerasan polisi dalam operasi pemberitahuan ancaman merupakan keputusan politik yang bertujuan melindungi kepentingan pemerintah dan mengulangi kebijakan represif terhadap suara-suara kritis pada proyek strategis nasional di Rempang, Seruyan, Mandalika dan lain-lain.
Semua ini, menurut Amnesty International, menunjukkan bahwa polisi telah memenuhi kewajibannya untuk melindungi hak asasi manusia sesuai dengan hukum nasional dan internasional.
Ketiga, jika ditambah dengan rangkaian kekerasan polisi yang berdampak luas pada masyarakat, maka tahun 2024 tidak akan membawa perbaikan pada sistem kepolisian.
Sebaliknya, menurut Amnesty International, hal ini menunjukkan hal yang sangat mendesak karena semua kasus kekerasan polisi berakhir pada pembenaran dan kurangnya akuntabilitas.
Keempat, menurut Amnesty International, janji Kapolri Listyo Sigit Prabowo untuk mengutamakan cara menangani orang-orang di bawah kepemimpinannya belum terpenuhi. Hal itu ditolak DPR
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni meminta Polri memperkuat SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam pengawasan dan pengecekan penggunaan senjata api (senpi).
Hal itu diungkapkannya menanggapi pernyataan Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, yang mengatakan pemerintah harus mempertimbangkan prinsip pelucutan senjata polisi (senpi).
Hal ini sebagai reaksi atas penggunaan senjata secara sembrono yang dilakukan aparat Polri.
“Kalau polisi tidak membawa senjata sama sekali, rasanya mustahil. Tingkat kejahatan kita masih sangat tinggi dan menyedihkan. Perampokan, pembunuhan dan pencurian masih sering terjadi dimana-mana. Oleh karena itu, polisi, khususnya Reserse Kriminal, harus mempunyai senjata “untuk mempengaruhi pikiran para pelaku kejahatan,” ujarnya. Demikian dihubungi wartawan, Senin (9/12/2024).
“Anda harus memperhatikan penggunaannya. Setiap saat, kejiwaan pemiliknya harus diawasi secara ketat dan diuji secara ketat,” tambahnya.
Dengan begitu, menurut Sahroni, anggota polisi pembawa senjata akan stabil mentalnya dan terlatih dalam tugasnya.
“Benar, ini tidak akan terjadi jika semua anggota membawa senjata. Kecuali jika kasus tersebut melibatkan potensi kejahatan, seperti pelayanan masyarakat, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan. “Tetapi mereka yang berurusan dengan penjahat, terutama pengedar narkoba yang sering tidak ditangkap, tetap harus membawa senjata,” ujarnya.
Apalagi, Sahroni berharap aparat tidak gegabah melihat kejadian tersebut.
“Yang terpenting, saya ingatkan kepada seluruh aparat kepolisian untuk tidak bertindak gegabah. “Jangan terburu-buru mengambil keputusan, nyawa masyarakat terancam,” tutupnya. Ada seruan pemberhentian Panglima Polri
Banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menyerukan pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo karena maraknya kekerasan polisi yang telah ditetapkan sebagai darurat nasional.
Aktivis HAM antara lain Usman Hamid (Amnesty International Indonesia), Daniel Siagian (LBH Pos Malang), Sukinah (Tokoh Gunung Kenendeng) dan beberapa aktivis yang tergabung dalam Lembaga Gerakan Sosial (SMI) di Yogyakarta.
“Kekerasan polisi yang berulang telah memakan banyak korban jiwa baik fisik maupun psikis, namun belum ada investigasi yang memadai untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran yang dilakukan polisi,” kata pendiri SMI Eko Prasetyo dalam keterangan bersama, Rabu (12/12)/2024). ).
Mengutip informasi Amnesty International Indonesia, sepanjang Januari hingga November 2024, polisi melakukan total 116 kasus kekerasan di berbagai wilayah Indonesia, 29 di antaranya merupakan pembunuhan di luar hukum dan 26 sisanya merupakan tindakan penyiksaan dan kebrutalan.
Menurut Amnesty International, 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi dalam serangkaian protes luar biasa yang terjadi antara tanggal 22 dan 29 Agustus.
Amnesty International menyatakan kekerasan tersebut bukan disebabkan oleh tindakan polisi yang menyimpang di lapangan, melainkan akibat kebijakan represif Korps Bhayangkara.
“Menanggapi situasi ini, kami menyatakan bahwa negara berada dalam situasi kritis terkait kekerasan polisi. Kekerasan polisi terjadi berulang kali dan mengakibatkan cedera yang tidak biasa. “Rendahnya tingkat transparansi dan tidak adanya hukuman berat bagi pelakunya, sebagaimana dibuktikan oleh para manajer perwira dan petinggi polisi, menjadi penyebab utama kembalinya kekerasan terhadap petugas tersebut,” jelasnya. ramah lingkungan.
“Kekerasan petugas harus dilihat secara luas, ini merupakan kebijakan yang diambil oleh perwira tinggi Polri, dan bukan hanya kejadian terbatas yang dilakukan polisi di daerah tersebut,” lanjutnya.
Ia kemudian menyatakan, polisi saat ini merupakan lembaga yang tidak melindungi apalagi melayani masyarakat.
Menurutnya, penyebab kegagalan tersebut mungkin karena kepemimpinan dan budaya lembaga tersebut.
“Sudah saatnya Polri mulai melakukan perubahan dengan mengganti pimpinannya, termasuk pimpinan tertinggi yaitu Panglima Polri, hal ini harus dilakukan dengan cepat dengan mempertimbangkan efektivitas pengurusan selama ini. kepolisian aspek demokrasi dan hak asasi manusia,” kata Eko.
Mereka juga menuntut agar polisi di semua tingkat memahami, memahami dan mampu bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan polisi yang terbukti melakukan kekerasan akan menghadapi hukuman pidana yang berat, bukan hanya hukuman moral. Ini disebut politik
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan menilai isu pergantian kapolri sangat politis.
Edi mengatakan, isu pergantian kapolri yang banyak dilontarkan aktivis hak asasi manusia dan Amnesty International Indonesia justru membingungkan masyarakat.
Dosen Fakultas Fikih Universitas Bhayangkara Jakarta ini diduga berperan khusus dalam penggantian Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri.
Menurutnya, ini bukan saat yang tepat untuk mengganti Kapolri.
Dia menyebutkan, saat ini tahapan Pilkada belum selesai dan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) masih tinggi.
“Kami melihat untuk menjaga stabilitas keamanan, Presiden masih membutuhkan sosok Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada tahun 2025,” kata Edi dalam keterangan yang diperoleh geosurvey.co.id, Kamis (12/12/2024).
Edi menilai Jenderal Listyo Sigit kini telah berhasil melakukan berbagai pembenahan dan peningkatan pelayanan di Badan Kepolisian Negara.
Secara keseluruhan, kata Edi, kinerja Polri semakin membaik.
Edi Hasibuan menilai, semasa menjadi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Polri selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan mengurungkan demokrasi di tanah air.
Hal ini tercermin dari kritik pedas terhadap Polri.
Panglima Polri, kata Edi, mengatakan yang berani mengkritik Polri adalah temannya.
“Kehadiran Kapolri sangat diharapkan, seperti yang sering kita lihat, membantu masyarakat menyampaikan keinginannya, namun ketika ada pihak lain yang mengangkat isu pergantian Kapolri, banyak kalangan yang ragu,” ujarnya.
Menurut dia, pergantian Kapolri merupakan hak prerogratif mutlak presiden. Jika Presiden melihat masih diperlukannya Panglima Polri Jenderal Listyo Sigit, patut dihormati.
Edi Hasibuan sendiri memandang sosok mantan penyidik Polri masih dibutuhkan Presiden untuk menjaga ketertiban di kepolisian itu sendiri.
Mantan anggota Kompolnas ini menilai isu pergantian Kapolri mencuat karena kasus penembakan tidak pantas.
Oleh karena itu, jika penembakan itu berkaitan dengan pergantian Kapolri, maka menurut saya itu salah, ujarnya.
Edi Hasibuan menegaskan pelaku penembakan adalah satu orang.
“Banyak kalangan mengapresiasi kerja Panglima Polri dan seluruh jajarannya dalam menjamin terselenggaranya Pilpres dan Pilkada dengan baik,” ujarnya. (*)