geosurvey.co.id – Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Dr. Mohammad Syahril membantah tes RT-PCR (reverse transkripsi-polimerase rantai reaksi) tidak efektif mendeteksi virus.
Hal ini terkait dengan munculnya isu masyarakat bahwa RT-PCR yang sering digunakan untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 hanya efektif untuk mendeteksi asidosis.
Daftar tersebut juga menyebutkan bahwa tes PCR bukanlah cara untuk mengetahui keberadaan virus.
Faktanya, cerita ini salah.
Untuk mendukung diagnosis penyakit seperti CCIDID-19, metode uji laboratorium yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai standar emas adalah uji amplifikasi asam nukleat (NAAT).
Syahril mengatakan, tes PCR merupakan tes diagnostik yang menggunakan metode uji amplifikasi asam nukleat yang memiliki tingkat deteksi virus SARS-CoV-2 yang tinggi.
Tes NAAT diakui sebagai standar emas dalam mendiagnosis virus COVID-19.
Tes ini memeriksa keberadaan gen bakteri (asam ribonukleat atau RNA) atau fragmennya ketika bakteri dimusnahkan.
PCR adalah tes yang andal dan akurat untuk mendeteksi virus aktif.
Secara umum, tes PCR membutuhkan waktu beberapa jam untuk membuahkan hasil, meski ada versi yang cepat.
Selain COVID-19, tes PCR dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit menular yang disebabkan oleh virus lain.
Sampel yang diambil berupa air liur, lendir atau jaringan, yang akan dianalisis di laboratorium.
“Tes PCR digunakan di seluruh dunia. PCR ini adalah alat atau metode untuk menguji keberadaan suatu virus. Dengan tes PCR, kita bisa mengidentifikasi patogen penyebab penyakit,” kata Syahril, dikutip dari pejabat tersebut. situs web. Kementerian Kesehatan, Rabu (23 Oktober 2024).
“Misalnya dalam skrining Mpox, kita bisa melakukan tes PCR terlebih dahulu dan melihat bahwa penyebab Mpox adalah virus,” lanjutnya.
Langkah selanjutnya, jika ingin mengetahui jenis virus yang berbeda setelah tes PCR, bisa dilakukan tes pengurutan genom darah lengkap atau Whole Genom Sequencing (WGS).
Uji ini digunakan untuk mengurutkan genom virus SARS-CoV-2.
“Kalau kita lihat lagi jenis virusnya, kita lakukan genomic sequencing pada seluruh darahnya. Misalnya kita melakukan tes PCR, untuk mengetahui apakah kita tertular virus COVID-19 atau tidak. Tes PCR-nya positif. , kemudian bisa dilihat jenis virusnya, apakah itu Delta, Omicron dan lain-lain, yang bisa dilanjutkan pada tes sekuensing genom darah lengkap,” kata Mohammad Syahril.
Sebagai informasi, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pengendalian Penyakit Conavirus 2019 (COVID-19), tes PCR dan WGS termasuk dalam tes pengendalian. berjuang melawan COVID-19.
Dikatakan, diagnosis pasien sebaiknya dilakukan dengan usapan antigen dan/atau usapan PCR.
Selain itu, data observasi dikumpulkan untuk memantau karakteristik epidemiologi dan virologi influenza dan COVID-19, serta untuk mengidentifikasi virus baru, dengan konfirmasi mulai dari pengujian molekuler influenza dan SARS-CoV2 hingga pengujian pengurutan genom keseluruhan (WGS). .
Di sisi lain, asidosis mengacu pada kelebihan asam dalam tubuh.
Jika tubuh menjadi terlalu asam atau basa, hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius.
Tubuh perlu menjaga keseimbangan keasaman untuk kesehatan yang optimal.
Kadar asam yang tinggi menyebabkan tubuh berusaha mengkompensasi dan menghilangkan kelebihan asam.
Paru-paru dan ginjal bertanggung jawab untuk membuang kelebihan asam dari tubuh.
Diagnosis asidosis dapat dilakukan dengan tes darah dan urin untuk mengetahui kadar pH.
(geosurvey.co.id/Latifah)