Reporter TribuneNews.com Dennis Destriavan melaporkan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 perlu dipertimbangkan kembali. Mereka menilai hal ini akan berdampak negatif terhadap perekonomian.
“Kenaikan PPN akan berdampak negatif terhadap perekonomian, mulai dari dampak menurunnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya inflasi, berkurangnya konsumsi dalam negeri, serta berkurangnya ekspor dan impor,” kata Anis Byarwati, Anggota DPR RI di Jakarta, Kamis. . 11/2024).
Ia mengingatkan Pemerintah, masih ada ruang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (ZPP) untuk mengoreksi tarif PPN 12% yang mulai berlaku pada Januari 2024.
Ayat 3 dan 4 Pasal 7 UU HE mengatur tarif PPN dapat disesuaikan minimal 5 persen dan maksimal 15 persen sesuai dengan kebijakan negara yang diatur dalam PP dengan persetujuan RI. DPR.
“Ini adalah ruang yang dapat digunakan mengingat situasi perekonomian saat ini,” kata Anees.
Ketika UU HE disahkan pada tahun 2021, terdapat asumsi bahwa pada tahun 2025 perekonomian diperkirakan akan pulih bahkan tumbuh.
“Tetapi sebenarnya, berdasarkan semua indikasi, situasi perekonomian kita saat ini tidak baik,” kata Anees.
Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan, tren tersebut diawali dengan deflasi kecil sebesar 0,03 persen pada bulan Mei 2024, disusul 0,08 persen pada bulan Juni, 0,18 persen pada bulan Juli, 0,03 persen pada bulan Agustus, dan 0,12 persen pada bulan September, deflasi a Ini merupakan tanda bahwa daya beli masyarakat melemah.
Pertumbuhan ekonomi nasional melambat menjadi 4,95 persen year-on-year (y-o-y) pada triwulan III tahun 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS). Konsumsi dalam negeri melambat dan tumbuh hanya sebesar 4,91 persen (year-on-year), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,93 persen.
“Jadi konsumsi masyarakat sangat membutuhkan berbagai insentif dari pemerintah untuk memperbaikinya,” ujarnya.
Diungkapkannya, laporan BPS menunjukkan pangsa kelas menengah tercatat sebesar 47,85 juta orang pada tahun 2024, menurun dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 pada tahun 2019 yang mencapai 57,33 juta orang. Sekitar 9,48 juta orang dari kelas menengah kita telah diturunkan peringkatnya.
Sebaliknya, jumlah kelas menengah aspirasional atau kelompok kelas menengah rentan meningkat dari 128,85 juta orang pada tahun 2019 menjadi 137,5 juta orang pada tahun 2024, ujarnya.
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenekar) RI, terdapat sekitar 64.288 pekerja yang terkena PHK di Indonesia sejak awal tahun hingga 15 November 2024. Jumlah tersebut meningkat sejak akhir Oktober yang mencapai 63.947 pekerja.
“Jadi setelah pandemi ini banyak industri yang tidak pulih, sebagian besar PHK berasal dari sektor manufaktur, termasuk industri tekstil,” kata Anees.