Reporter geosurvey.co.id Dennis Destriavan melaporkan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Rencana pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 dikhawatirkan akan berdampak pada hilangnya lapangan kerja, khususnya di industri hasil tembakau (IHT). ) petani).
Pengamat ekosistem tembakau Indonesia Hananto Wibisono mengatakan kenaikan PPN hingga 12 persen pasti akan berdampak pada biaya produksi.
Kenaikan biaya berpotensi memicu kenaikan harga produk akhir, karena PPN yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya bahan baku yang dibeli oleh produsen.
“Selain bahan baku, seluruh proses produksi juga akan terkena dampak kenaikan PPN, termasuk energi, transportasi dan lain-lain.”
Kenaikan PPN tersebut diperkirakan akan diikuti dengan kenaikan tarif PPN atas penyediaan rokok menjadi 10,7% dari sebelumnya 9,9%.
Jika tidak dilakukan tindakan, masyarakat berisiko mengonsumsi rokok ilegal, mengancam situasi pekerja, petani, dan semua orang yang terlibat dalam IHT, dengan bayangan beralihnya konsumsi ke produk legal. Hal ini tercermin dari menurunnya daya beli. .
“Produsen mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga jual produknya, meskipun hal tersebut menimbulkan risiko inflasi pasar. Jika harga jual meningkat, ada kemungkinan penurunan permintaan yang akan mempengaruhi penjualan dan keuntungan perusahaan. Jika terjadi penurunan permintaan dan keuntungan yang signifikan, produsen terpaksa mengambil tindakan drastis, seperti PHK, untuk mengurangi biaya operasional,” ujarnya.
Hilangnya negara
Berdasarkan hasil survei terbaru yang dipublikasikan Indodata, angka peredaran rokok ilegal di Indonesia mencapai 46,95% pada tahun 2024 dan akan menimbulkan kerugian negara sebesar Rp97,81 triliun. Padahal, perkiraan kerugian negara pada tahun 2022 “hanya” mendekati Rp 53 triliun.
Kementerian Keuangan juga mencatat kerugian negara akibat rokok ilegal mencapai Rp13,48 triliun pada tahun 2021.
Rokok ilegal menimbulkan kerugian negara yang sangat besar. Padahal, negara membutuhkan sumber daya untuk berkembang. “Masalah rokok ilegal bukan hanya soal penerimaan negara, tapi faktor lain, antara lain buruh, petani dan lain-lain,” kata Danis TS Wahidin, Direktur Eksekutif Indodata, saat merilis hasil penyelidikan (18/11).
Koreksi berita
Redaksi telah mengubah judul dan sebagian isi artikel ini. Kasus-kasus yang diuraikan sebelumnya dijelaskan di bawah ini:
Aliansi Perusahaan Tembakau Indonesia (AMTI) mengaku belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi terkait kebijakan pemerintah terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen.
Pernyataan Hananto Wibisono patut dikoreksi. Yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai Sekjen AMTI per 19 Februari 2024. Oleh karena itu, seluruh pernyataannya tidak dapat diartikan mewakili AMTI, keadaan ekosistem tembakau, atau unsur-unsur yang terlibat.
Segala pendapat atau pandangan yang dikemukakan oleh Hananto Wibisono merupakan pandangan pribadi dan tidak mewakili organisasi AMTI.
(*)