Laporan koresponden geosurvey.co.id Reena I
geosurvey.co.id, JAKARTA – Dokter Andika Rachman, ahli hematologi dan onkologi RSCM Jakarta, mengungkapkan pasien limfoma Hodgkin di Indonesia kerap salah diagnosis di awal pengobatan.
Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Gejala penyakit ini tidak spesifik sehingga penyakit ini sulit dikenali.
Sayangnya, pasien baru mengetahui dirinya mengidap kanker ketika penyakitnya sudah cukup parah.
Gejala limfoma Hodgkin sering dikaitkan dengan tuberkulosis.
Gejala limfoma Hodgkin antara lain keringat berlebih di malam hari, meski menggunakan AC dan kipas angin.
Kemudian suhu naik hingga lebih dari 38 derajat Celcius atau penurunan berat badan lebih dari 10 persen selama 6 bulan berturut-turut tanpa diet.
Benjolan atau pembesaran juga terjadi di area kelenjar getah bening, misalnya di leher, ketiak, atau selangkangan, ujarnya dalam jumpa pers saat bertemu dengan Takeda di Jakarta, Kamis (26/8/2024).
Ia mengatakan, terkadang beberapa pasien limfoma juga mengalami batuk karena kelenjar getah bening melewati paru-paru.
Ketika seorang pasien didiagnosis menderita tuberkulosis, selama dua bulan pertama pengobatan, gejala seperti lemas dan kehilangan nafsu makan membaik.
“Lebih mudah dikenali. Dan kalau limfomanya ternyata diobati, tidak kunjung membaik. Di sinilah letak kepekaan dokter. Mengapa dua bulan pertama pengobatannya kurang baik. Apakah ini adenokarsinoma lagi? TBC paru harus diperiksa. lagi,” jelasnya.
Andika mengatakan, sesuai kriteria yang ditetapkan, dibutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk mendiagnosis limfoma Hodgkin sebelum diberikan pengobatan lebih lanjut.
Namun di Indonesia, deteksi kasus limfoma seringkali memerlukan waktu sekitar dua minggu hingga satu bulan karena memerlukan studi pencitraan dari CT scan dan biopsi.
Pengobatan limfoma Hodgkin terdiri dari kemoterapi, radioterapi, imunoterapi, dan terapi bertarget.