Jurnalis geosurvey.co.id, Reena Ayu melaporkan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Kepala BPOM Taruna Iqar melarang influencer/kreator konten memberikan label persetujuan pada produk kosmetik yang sedang diulas atau diulas.
Menurut Tarona, pemberian label yang disetujui dapat mempengaruhi keputusan masyarakat dalam menggunakan kosmetik.
“Hanya BPOM sebagai lembaga yang berwenang mengawasi yang berhak menyatakan ‘disetujui’ untuk produk kosmetik,” ujarnya di kantor BPOM RI, Jakarta, Jumat (17/1/2025) dalam sebuah kegiatan.
Taruna menegaskan, perizinan dan pengawasan setelah kosmetik diedarkan merupakan hak prerogratif BPOM.
“Kami akan mengaudit pihak-pihak yang mengiklankan produk kosmetik yang ‘disetujui’,” kata Taruna Iqar.
Hal ini juga menyoroti tren konten ulasan yang menampilkan ulasan hasil tes mandiri influencer/pembuat konten pada produk kosmetik tertentu.
Sesuai peraturan, pernyataan hasil uji laboratorium bersifat rahasia bagi pihak yang bertanggung jawab dan tidak boleh dipublikasikan.
Pemegang izin edar sebagai penanggung jawab dapat mengujikan produk miliknya di laboratorium yang terakreditasi untuk kepentingannya agar kosmetika tersebut selalu memenuhi persyaratan.
Dia mengatakan, hanya BPOM yang berwenang mengumumkan hasil pemantauan produk kosmetik.
Kewenangan tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Bagi pihak yang tidak mempunyai kewenangan untuk memviralkan hasil tes, tindakan ifu dianggap pelanggaran.
Sesuai ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 tentang Rahasia Dagang, pihak yang dengan sengaja atau tidak sengaja menggunakan rahasia dagang pihak lain dapat dikenakan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 300 juta. .
Ia berharap para influencer kosmetik/kreator konten lebih fokus mengedukasi masyarakat dan menghilangkan motivasi lain dalam postingannya, seperti persaingan bisnis, meraih popularitas, atau mencari keuntungan.
Kemungkinan adanya motivasi lain atas pelanggaran yang meresahkan masyarakat, antara lain persaingan tidak sehat antar pelaku usaha kosmetik dalam negeri.