geosurvey.co.id, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (15/10/2024) memanggil Asep Erwin Juanda, mantan Kepala Badan Pembangunan dan Keuangan BPKD Provinsi Jakarta.
Asep dipanggil sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Kelurahan Rarotan, Kecamatan Cilincing, Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta.
Diketahui, Asep Erwin Juanda saat ini menjabat sebagai Ketua Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Administrasi Jakarta Selatan.
Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiyarto mengatakan, “Audit dilakukan di gedung Komite Merah Putih Antikorupsi atas nama Kepala Dinas Pembangunan dan Keuangan BPKD Provinsi DKI Jakarta AED.” – katanya.
Dalam kasus korupsi tanah Raroton, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap lima tersangka: Chief Executive Officer PT Totalindo Eko Persado, Donald Sihombing; Mantan Dirut Perumda Pembangunan Sarana Jaya, Yori Corneles Pinontaan; Sarana Jaya, Indra S. Archaris, Manajer Bisnis Senior atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan; Komisaris PT Totalindo Eko Persada, Irianta Rajagukguk Selatan; dan Chief Financial Officer PT Totalindo Eco Persado, Eco Vardoyo.
Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan kelima tersangka ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK selama 20 hari pertama.
Dengan demikian, kelima tersangka masih menjalani tahanan praperadilan setidaknya hingga 7 Oktober 2024.
Assep mengatakan, Komite Pemberantasan Korupsi (KPC) akan menahan para tersangka selama 20 hari pertama, terhitung sejak 18 September 2024 hingga 7 Oktober 2024. Penahanan akan dilakukan di Rutan KPK “Korps Merah Putih”. Konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/9/2024).
Asep menjelaskan, PT Totalindo Eka Persada merupakan salah satu perusahaan yang menawarkan lahan tersebut kepada Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang mengakuisisi lahan di Jakarta untuk dijadikan bank tanah.
Sebanyak 12,3 hektare lahan di Raroton dibeli Perumda Pembangunan Sarana Jaya dari PT Totalindo Eka Persada pada tahun 2019 seharga Rp 371,5 miliar.
Padahal, tanah tersebut sebelumnya dibeli PT Totalindo dengan harga jauh lebih murah dari PT Nusa Kirana Real Estate atau PT NKRE.
Lahan sekitar 11,7 hektare dibeli PT Totalindo Eka Persada dari PT NKRE seharga Rp 950.000 per meter persegi; dihitung sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT Totalindo Eka Persada dengan total nilai transaksi Rp 117 miliar.
Akibatnya, negara merugi sekitar Rp 223,8 miliar akibat kejanggalan proses pengadaan tanah dan investasi Perumda Pembangunan Sarana Jaya 2019-2021.
“Beban kerugian negara atau daerah diperoleh dengan mengurangkan harga sebenarnya transaksi dengan pemilik asli tanah PT Totalindo Eka Persada, PT Nusa Kirana Real, dari nilai bersih pembayaran Rp 371,5 miliar yang diterima PT Totalindo Eka Persada dari Perumda Pembangunan Sarana Jaya . Asep menambahkan, setelah memperhitungkan biaya-biaya, “pajak, BPHTB dan hal-hal terkait lainnya seperti biaya notaris adalah 147,7 Ini Rp satu miliar,” ujarnya.
Asep menyatakan, tidak hanya terjadi kenaikan harga, namun pembebasan lahan di Rorotan dilakukan dengan berbagai pelanggaran.
Beberapa di antaranya Yoory mengatakan, tidak perlu menunjuk Jasa Penilai Publik Independen (KJPP) untuk menilai nilai tanah.
Selain itu, PPSJ juga tidak melakukan investigasi internal terhadap permohonan KSO yang diajukan PT Totalindo Eka Persada.
Selain itu, Totalindo Eka Persada juga mengetahui bahwa keenam SHGB di atas tanah Rorotan masih dimiliki oleh PT NKRE dan belum berpindah hak kepemilikan atas tanah tersebut dari PT NKRE kepada PT Totalindo.
Dalam proses pembebasan lahan di Rorotan, diduga ada berbagai kejanggalan akibat akuisisi properti yang dilakukan Yoory dari PT Totalindo Eka Persada.
Yori diduga menerima uang asing senilai S$3 miliar dari PT Totalindo Eka Persada.
Selain itu, Yoory diduga memfasilitasi atau memfasilitasi penjualan aset pribadi yang langsung dibeli oleh karyawan PT Totalindo Eka Persada.
“Akuisisi aset YCP berupa rumah dan apartemen oleh karyawan PT TEP terjadi atas arahan Saudara EKW, dan sumber dananya adalah kas perusahaan berupa pinjaman terjangkau yang diberikan kepada karyawan yang membeli aset tersebut. ,” kata Asep.
Dalam dugaan tindak pidana tersebut, Jori, Donald Sihombing, dan tiga tersangka lainnya dijerat Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bagian 1 Pasal 55 (1) KUHP.