geosurvey.co.id – Israel melancarkan serangan ke Suriah di tengah rumitnya situasi politik dan keamanan di negara Timur Tengah tersebut.
Para pengamat mengatakan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) sejauh ini telah melakukan sekitar 300 serangan udara terhadap Suriah.
IDF dilaporkan telah menduduki provinsi Quneitra di Suriah. Sebelumnya pada tahun 1981, Israel mencaplok Dataran Tinggi Golan Suriah.
Israel menegaskan tindakannya baru-baru ini di Suriah bersifat protektif dan didorong oleh masalah keamanan.
Namun, cerita Israel tersebut dibantah keras oleh Furkan Halit Yolcu, pakar keamanan di Universitas Sakarya di Türkiye.
Yolcu menyebut tindakan Israel sebagai serangan yang bertujuan merebut wilayah Suriah.
Dapat dikatakan bahwa Israel saat ini sedang mencari ikan di perairan gelap atau mengambil keuntungan dari kekacauan yang terjadi di negara-negara tetangganya. Pasukan IDF Israel terlihat memasuki Suriah, dalam foto selebaran yang dirilis oleh tentara pada 9 Desember 2024. (IDF/Timesof Israel)
“Sejarah mengatakan bahwa ini bukan tindakan protektif, tetapi ini tentang perspektif ofensif yang berkelanjutan, memanfaatkan peluang dan secara bertahap mengklaim wilayah,” kata Yolcu seperti dikutip Sputnik.
“Ketika ada peluang, ketika ada peluang, Israel sepertinya memanfaatkan peluang tersebut dan berusaha merebut lebih banyak wilayah selagi bisa,” jelasnya.
Kemudian Yolcu meramalkan bahwa Israel tidak akan “berdamai” dengan tindakannya baru-baru ini. Ia memperkirakan tindakan Israel akan dibahas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera setelah pemerintahan baru terbentuk di Suriah.
“Kasus ini mungkin akan menjadi masalah yang lebih besar dibandingkan sekarang karena (Suriah) masih belum memiliki pemerintahan,” kata Yolcu.
“Ketika sebuah pemerintahan terbentuk dan secara resmi diakui oleh rakyat sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa, konflik teritorial pasti akan dimulai.” Israel mengklaim telah menghancurkan 80 persen kemampuan militer Suriah
Setelah melakukan serangan selama beberapa hari, IDF mengaku telah menghancurkan 70 hingga 80 persen kemampuan militer Suriah milik rezim Presiden Bashar Al-Assad yang kini telah jatuh.
“Dalam 48 jam terakhir, IDF telah menyerang sebagian besar depot senjata strategis di Suriah,” kata IDF pada Selasa (12/10/2024), seperti dikutip All Israel News.
Israel menyatakan serangan itu dilakukan untuk mencegah senjata jatuh ke tangan “elemen teroris”.
Bagian utama dari serangan itu disebut “Operasi Panah Bashan” dan berakhir pada hari Selasa.
Menurut Radio Angkatan Darat, operasi militer besar ini melenyapkan hampir seluruh peralatan militer Suriah yang dapat mengancam Israel.
Operasi tersebut mendapat lampu hijau dari Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Herzi Halevi pada Sabtu atau sesaat sebelum rezim Assad resmi digulingkan.
Dilaporkan total ada 350 pesawat yang dilibatkan Israel dalam penyerangan ke Suriah. Jumlah itu bahkan lebih dari separuh jumlah pesawat Angkatan Udara Israel.
IDF mengatakan pesawat itu terbang di atas langit Suriah selama ratusan jam.
Israel mengklaim bahwa target yang dihancurkan termasuk senjata strategis seperti rudal Scud, rudal jelajah, rudal permukaan-ke-laut, rudal permukaan-ke-udara dan rudal udara-ke-udara, drone, jet tempur.
Selain itu, peralatan reguler tentara seperti helikopter serang, radar, tank, pesawat terbang, dan infrastruktur intelijen juga dihancurkan.
Israel juga mengerahkan angkatan lautnya untuk menyerang pelabuhan Al-Beida dan Latakia. Serangan itu akan menghancurkan puluhan kapal rudal milik Angkatan Laut Suriah.
Selain itu, pasukan IDF di lapangan terus dikerahkan di zona demiliterisasi di sepanjang perbatasan. Alasannya adalah untuk mengamankan kawasan tersebut.
Tindakan ini mendapat kritik keras dari negara-negara Arab. Misalnya, Al-Araby Al-Jadeed menyebut tindakan Israel sebagai pendudukan tanah Suriah.
Utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, mengatakan pada hari Selasa bahwa tindakan Israel memperburuk ketidakstabilan di Suriah.
(Berita Tribune/Februari)