Laporan: Wartawan geosurvey.co.id Rina Ayu
geosurvey.co.id, JAKARTA – Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI dr Mohammad Syahril, Sp.P, MPH, mengingatkan dokter agar tidak terburu-buru memberikan antibiotik.
Antibiotik tidak boleh diberikan sembarangan dan sebaiknya dengan resep dokter.
Pasien harus mendapat indikasi dan diawasi gejalanya seperti demam dan nyeri.
Jika pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak merasakan nyeri atau bahkan infeksi lain, dokter tidak perlu langsung meresepkan antibiotik.
Namun jika gejala yang dialami pasien lebih parah atau antibiotik yang berbasis bukti tidak membuahkan hasil, idealnya dilakukan studi kultur laboratorium untuk mengetahui jenis bakteri dan obat yang tepat, kata dr Syahril di Jakarta, Jumat (April). 10 Agustus 2024).
Antibiotik adalah obat yang membunuh bakteri. Antibiotik harus diberikan sesuai petunjuk.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak leluasa membeli antibiotik karena obat tersebut termasuk dalam kategori obat kuat.
“Pengobatan antibiotik dilakukan oleh dokter. Karena memerlukan resep dokter dan antibiotik tidak bisa dibeli secara bebas. Karena termasuk obat keras dan pemberiannya harus sesuai indikasi,” ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan antibiotik menjadi tiga kelompok, yang menggunakan singkatan AWaRe (Access, Watch, Reserve). Kelompok Akses mencakup antibiotik yang direkomendasikan untuk infeksi umum dan mudah diakses.
Kelompok Pengawasan terdiri dari antibiotik yang digunakan di fasilitas kesehatan untuk pasien dengan penyakit serius. Penggunaan antibiotik ini harus dipantau secara hati-hati untuk menghindari overdosis.
Sementara itu, kelompok Cadangan mencakup antibiotik yang digunakan hanya sebagai upaya terakhir untuk mengobati infeksi serius yang disebabkan oleh patogen yang resistan terhadap berbagai obat.
Karena itulah Syahril kembali mengingatkan dokter untuk tidak memberikan antibiotik terlalu cepat. Aktivitas ini mungkin menjadi salah satu penyebab utama resistensi obat.
“Di negara maju, dokter dalam pemberian antibiotik berada dalam pengawasan. Dokter tidak boleh sembarangan memberikannya. Kadang pasien atau keluarga juga memberi tahu dokter untuk tidak memberikan antibiotik dulu,” ujarnya.