Laporan jurnalis Tribunenews Mario Christian Sumampov
geosurvey.co.id, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan presiden (PT) yang diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Dengan keputusan tersebut, setiap partai politik yang dinyatakan sebagai peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden tanpa memenuhi persyaratan minimum dukungan pemilih tertentu.
Namun, pengadilan juga memberikan informasi penting.
Dalam praktik sistem presidensial di Indonesia yang didukung dengan model multi partai, potensi jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat meningkat setara dengan jumlah partai peserta pemilu.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai efektivitas pemilu dan stabilitas sistem politik.
Mahkamah menegaskan, menghilangkan hambatan tersebut merupakan bagian dari perlindungan hak konstitusional partai politik.
Namun revisi undang-undang pemilu mendatang diharapkan dapat mengatur mekanisme untuk mencegah peningkatan jumlah pasangan calon secara berlebihan, sehingga pemilu tetap efisien dan konsisten dengan prinsip demokrasi langsung.
Selain itu, MK juga menegaskan, meski konstitusi memperbolehkan pemilu dua putaran, namun jumlah pasangan calon yang terlalu banyak tidak selalu berdampak positif bagi perkembangan demokrasi presidensial di Indonesia.
Keputusan ini diharapkan menjadi titik balik dinamika pemilu di Indonesia, menyeimbangkan hak konstitusional partai politik dengan kebutuhan stabilitas demokrasi.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapus ambang batas tersebut merupakan permohonan yang timbul dari perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, kata Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo, Kamis (1/2/2025) di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta Pusat.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pencalonan calon presiden dan wakil presiden (rintangan pemilu presiden) dalam Pasal 222 Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan melanggar UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.