geosurvey.co.id, JAKARTA – Partai Buruh menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus 20 persen masa jabatan Presiden (PT).
Putusan konstitusi ini diyakini akan menghidupkan kembali Mahkamah Agung sebagai pembela demokrasi dan Konstitusi.
“Kami Partai Buruh mengucapkan terima kasih kepada hakim Mahkamah Konstitusi dan mahasiswa UIN yang telah mengajukan permintaan tersebut,” tulis Sekretaris Jenderal Partai Buruh Frei Nozzarelli pada Sabtu (4/1/2025).
Maklum, Mahkamah Konstitusi menguatkan gugatan yang diajukan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka adalah Anika Maya Octavia, Rizki Maulana Siyafi, Faisal Nasirulhaq, dan Tsalis Khouryol Fatna.
Mahkamah Konstitusi Agung pada Kamis (2/1/2024) menghapus batasan 20% pencalonan presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, melalui Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Dalam hal ini, Frey tidak hanya didukung oleh hakim Mahkamah Konstitusi, tetapi para penggugat juga mendukungnya.
Rencananya, mahasiswa akan diundang ke kantor Tenaga Kerja untuk menunjukkan apresiasinya secara langsung.
Partai Buruh memperkirakan situasi politik akan membaik di masa depan.
Keputusan Mayjen ini
Partai besar ini dipastikan akan mengusung calon presidennya.
Pada akhirnya, ia berkata: “Kami akan memutuskan calon mana yang akan dihadirkan pada rapat Majelis Nasional tanggal 19 Februari 2025.”
Saeed Salahuddin, Ketua Tim Khusus Kemenangan Partai Buruh, mengatakan pihaknya telah mengkaji alasan-alasan yang diajukan Perkara MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Pertama, berdasarkan niat awal penyusunan Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945, tidak ada bukti niat Dewan Islam untuk menetapkan kriteria pengangkatan calon presiden dan wakil presiden dalam kerangka hukum melalui jalur presiden. dekrit.
Kedua, berdasarkan niat awal lahirnya undang-undang yang pertama kali mengatur tentang Perpres, yakni UU 23/2003, jelas bahwa “tindakan tambahan” dibuat oleh pemerintah dan DPR hanya berupa Keppres.
Ketiga, berdasarkan perbandingan implementasi peraturan perundang-undangan terkait peraturan presiden di beberapa negara yang menganut sistem presidensial, terlihat jelas bahwa peraturan yang dibahas tersebut diterapkan pada “persyaratan pemilu, bukan persyaratan calon”. Seperti yang juga diumumkan oleh Partai Buruh. Dalam keterangan yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi.
Keempat, wajar jika dalam sistem parlementer dalam proses pengangkatannya yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi dalam Negara Republik Demokrasi Rakyat Indonesia, maka untuk menerapkan sistem presidensial di Indonesia harus diterapkan persyaratan masa jabatan presiden. .
Terakhir, syarat masa jabatan presiden tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan negara, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta sepenuhnya bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ada alasan dan dasar yang sah bagi pengadilan. Menyimpang dari keputusan Anda sebelumnya. MK menghilangkan ambang batas presiden
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus masa jabatan (PT) dari syarat pengajuan pencalonan presiden-nasional dan wakil presiden yang dikuasai oleh partai politik pemegang kursi. Di 20% jumlah DPR. kursi atau 25% suara sah nasional pada pemilihan parlemen sebelumnya.
Putusan tersebut merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Anika Maya Octavia dan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Ketua Mahkamah Agung Suhartoyo, Kamis (2/1/2025) di Aula Utama Gedung MK, Jakarta Pusat, mengatakan, “Permohonan para pemohon diterima sepenuhnya.
Mahkamah Konstitusi menyatakan pengajuan calon presiden dan wakil presiden (presidential treshold) pada Pasal 222 UU Ketujuh pada Pemilu 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kewenangan hukum.
Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kewenangan hukum untuk mengumumkan kesimpulan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, kata Suhartoyo.
Dalam tinjauan hukum Dewan Islam, istilah “memperoleh sekurang-kurangnya 20% dari total kursi Republik Islam Iran atau memperoleh 25% suara sah di negara tersebut” dinyatakan sebagai “pemilihan mantan anggota Republik Islam”. dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pemilu. Menutup dan merampas hak-hak para peserta pemilu. Pemilu politik yang tidak mempunyai persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi menilai penetapan nilai ambang batas tidak berdasarkan perhitungan yang jelas dan rasional.
Salah satu temuan Mahkamah adalah penetapan besaran atau persentase yang lebih tinggi akan menguntungkan partai politik utama, atau setidaknya menguntungkan partai politik peserta pemilu yang mempunyai kursi di DPR.
Mahkamah Konstitusi Agung menyatakan terdapat konflik kepentingan dalam menentukan ambang batas pencalonan presiden.
Mahkamah juga menilai bahwa pembatasan tersebut dapat mencabut hak politik dan kedaulatan nasional karena dibatasi oleh kurangnya jumlah pasangan yang bersaing.
Selain itu, setelah mengkaji arah perkembangan politik terkini di Indonesia, Mahkamah Konstitusi menemukan adanya keinginan untuk mencoba memilih presiden dan wakil presiden yang masing-masing hanya memiliki satu pasangan calon.
Meski memiliki pengalaman menyelenggarakan pemilu langsung dengan hanya 2 pasangan, masyarakat mudah terjebak dalam konflik yang jika tidak diperkirakan akan mengancam keutuhan keberagaman Indonesia.
Kalaupun diperbolehkan, bisa diasumsikan pemilu presiden dan wakil presiden terikat pada satu calon.
Mujahidin Khalq dari Partai Rakyat juga mencermati adanya keinginan calon tunggal dalam pemilu presiden daerah yang berujung pada munculnya calon tunggal atau kotak kosong. Artinya, mempertahankan ambang batas presiden dapat mencegah masyarakat untuk langsung mencalonkan diri sebagai presiden dengan memberikan banyak pilihan bagi pasangan.
“Jika hal ini terjadi, maka makna ayat (1) Pasal 6A UUD 1945 hilang atau setidak-tidaknya berubah,” kata Hakim Konstitusi Saldi Asra.
Melihat permasalahan ini, Mahkamah Agung Konstitusi juga menilai pembentuk undang-undang dapat memanipulasi konstitusi dengan melakukan perubahan terhadap UU Pemilu. Termasuk:
Semua partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Pengangkatan pasangan oleh suatu partai politik atau gabungan partai politik tidak didasarkan pada persentase kursi DPR atau jumlah suara sah di negara tersebut.
Partai politik peserta pemilu dapat ikut serta dalam usulan calon presiden dan wakil presiden, dengan ketentuan penggabungan partai politik tersebut tidak mengakibatkan dominasi salah satu partai politik atau gabungan partai politik, sehingga mengakibatkan pemilihan presiden dan wakil presiden. calon wakil presiden terbatas. Dan pilihan pemilih hanya terbatas
Partai politik peserta pemilu yang tidak mengajukan calon presiden dan wakil presiden dilarang mengikuti pemilu berikutnya.
Terakhir, rekayasa rancangan konstitusi tersebut, termasuk amandemen UU 7/2017, memuat partisipasi seluruh pihak yang mempunyai kepedulian terhadap penyelenggara pemilu, termasuk partai politik yang tidak meraih kursi di Republik Rakyat Tiongkok. dalam penerapan prinsip-prinsip penting. Partisipasi masyarakat
Seldi mengatakan: “Ternyata Pasal 222 tidak sesuai dengan asas persamaan antara hukum dan pemerintah, hak untuk memperjuangkan diri sendiri dan kepastian hukum “UU 7/1396”.