Masyarakat Indonesia Suka Belanja Online, Waspada Penipuan Willy Widianto/geosurvey.co.id
geosurvey.co.id, JAKARTA – Digitalisasi terbukti mengubah perilaku konsumen di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Apalagi pasca pandemi Covid-19 dimana terjadi peningkatan pola konsumsi masyarakat yang berubah dari offline ke online.
Berdasarkan data Bank Indonesia, volume e-commerce akan meningkat dari 3,49 miliar pada tahun 2022 menjadi 3,71 miliar pada tahun 2023.
Padahal, nilai belanja online pada tahun 2023 mencapai Rp 453,75 miliar. Jumlah yang kecil atau sekitar 10 persen APBN Indonesia. Namun, selalu ada ancaman akibat kemajuan teknologi. Hal ini mencakup kegiatan penipuan dan manipulasi produk oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo, kini Kemenkom Digi), tidak kurang dari 405.000 orang menyampaikan laporan transaksi palsu dan palsu pada layanan online sepanjang tahun 2017 hingga 2024.
Dari jumlah tersebut, 13,1 persen terjadi pada sektor e-commerce pada tahun 2023.
Oleh karena itu, masyarakat perlu waspada agar tidak menjadi korban penipuan belanja online. Dari sekian banyak kasus di atas, kemungkinan munculnya produk palsu di platform internet dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama, konsumen kesulitan membedakan produk asli dan palsu. Foto produk seringkali tidak sesuai dengan barang yang dijual.
Oleh karena itu, konsumen sulit membedakan produk asli dan produk palsu hanya dari tampilan gambarnya. Itu dilakukan oleh seorang penulis terkenal dari Jepang.
“Kita sudah lama dirugikan oleh adanya penipuan, termasuk penjualan produk Snowman palsu melalui e-commerce. Jadi kami sepakat dengan fakta bahwa masih ada oknum yang melakukan penipuan dan merugikan konsumen, kata pengacara PT Altusnusa Mandiri, Ronny Wijaya yang merupakan operator tunggal Snowman Indonesia dalam keterangannya, Kamis (7/11/2024). ), katanya, kemampuan produk tidak sesuai deskripsi.
Dalam beberapa kasus, produk yang diterima mungkin berbeda dari gambar atau deskripsi yang dipublikasikan di platform. Akibatnya, pelanggan berisiko menerima barang yang tidak sesuai ekspektasi.
Ketiga, kurangnya perlindungan terhadap konsumen dan pemilik jaringan.
Platform internet seringkali tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi konsumen dan pemilik web, sehingga produk palsu terus beredar tanpa sanksi yang berat.
Oleh karena itu kami mengapresiasi kebijakan aparat yang masih sangat ketat terkait berbagai aktivitas penipuan dan pemalsuan, kata Ronny.
Misalnya, ketika produk palsu dihapus, platform cukup menghapus halaman tersebut tanpa memberikan penalti apa pun kepada penjual. Model ini memungkinkan mereka memasang produk serupa di masa depan.
Kelima, risiko penipuan dalam urusan bisnis. Dimana konsumen membeli dari penjual yang tidak dapat diandalkan atau tidak dapat dipercaya.
Hal serupa menurut Ronny, pihaknya juga melakukan hal serupa, di mana pasca kasus barang palsu tersebut pihaknya melakukan kampanye, berupa gerakan penyadaran di kalangan masyarakat.
“Kami membuat hashtag di media sosial #SayNoToFakeGoods, ini sebagai ajakan kolektif kepada konsumen untuk menghindari produk palsu. Ini juga sebagai dukungan kepada aparat untuk terus bekerja keras melawan penyelundup,” kata Ronny.