Wartawan geosurvey.co.id Eric Sinaga melaporkan
TribuneNews.com, Jakarta – Hudi Yusuf, pakar hukum pidana Universitas Bung Karno (UBK) mendesak penegak hukum menangani korupsi di gateway pembayaran di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kmenkumham).
Februari 2025 menandai 10 tahun kasus korupsi di gerbang bea cukai.
“Sudah ada ketidakpastian, apa yang terjadi harus jelas. Di SP3 ada kata penuntutan, tanpa tuntutan? kata Hudi, sapaan akrabnya, Minggu (27/10/2024).
Hudi meminta Presiden Prabowo Subanto menegur masyarakatnya karena jabatan tersangka sudah hampir 10 tahun.
“Ini pekerjaan rumah Presiden Prabowo, menegur sekutu-sekutunya, agar tidak ada kasus lagi. Jadi jangan sampai ada lagi kasus-kasus yang tertunda terkait tindak pidana korupsi, ini juga membutuhkan pikiran Presiden Prabowo,” kata Hudi. .
Hudi mengingatkan Presiden Prabowo tentang pentingnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengusut tuntas dugaan pendanaan pemerintah dalam kasus korupsi portal pelabuhan.
“Kalau ada awal, pasti ada akhir. Saya harap Pak Prabowo juga memandang kasus korupsi ini dengan cara yang sama. Ini kejahatan khusus yang merugikan seluruh negara, jadi tidak semua yang terlibat korupsi harus dihukum. terselamatkan,” pungkas Hudi.
Pada bulan Maret 2023, tersangka jurnalis Andy Shamsul Bahri mengeluhkan perkembangan kasus yang sedang berlangsung, namun sejauh ini tidak ada tanda-tanda kasus tersebut akan berlanjut.
Mantan Menteri Hukum dan HAM yang akrab disapa DNI ini tersangkut kasus korupsi terkait payment gateway atau pembayaran elektronik pada paspor.
Pada tahun 2015, DI ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, karena diduga bertanggung jawab atas kasus tersebut. Jumlah kasus
Peristiwa ini terungkap pada hari Kapolri Jenderal Badrodin Haiti.
Pada 2015, Kepala Departemen Komunikasi Polri Brigjen (Pol) Anton Charlian bercerita kepada wartawan tentang peran DNI dalam kasus pelabuhan hingga tersangka ditetapkan.
Menurut polisi, DNI ikut serta dalam penunjukan dua penjaga gerbang.
Denny’s pun diduga memfasilitasi kedua vendor tersebut untuk menggunakan sistem tersebut. Kedua vendor yang dimaksud adalah PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia.
“Dibuka rekening atas nama kedua pedagang itu. Uangnya disetorkan di sana, lalu diserahkan ke bendahara. Ini melanggar aturan, harusnya langsung masuk ke bendahara,” kata Anton di Markas Besar Perbendaharaan. Kepolisian Nasional. sulit. , Jakarta, Rabu 25 Maret 2015, diambil dari Kompas.com.
Penyidik memperkirakan jumlah uang yang disebut-sebut merupakan kerugian pemerintah dalam kasus ini sebesar 32.093.692.000 riyal.
Polisi juga menduga ada pemerasan sebesar 605 juta dolar dari sistem ini.