Laporan reporter geosurvey.co.id Aisya Nursyamsi
geosurvey.co.id, JAKARTA – Penggunaan antibiotik untuk melawan infeksi bakteri sebaiknya dilakukan dengan hati-hati.
Hal ini membuat risiko bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik sulit dicegah, diobati, dan dirawat oleh pasien.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) India, dr. Mohammad Syahril, Sp.P, MPH menjelaskan, resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri tidak dapat dimusnahkan oleh antibiotik.
“Karena banyak bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Salah satu penyebab terjadinya resistensi antibiotik adalah penggunaan antibiotik yang tepat. Yang salah adalah memberikan antibiotik terlebih dahulu,” kata Syahril, Jumat (4/10) di situs resminya.
Kedua, soal dosis, dan ketiga, soal durasi penggunaan obat.
Misalnya, ada orang yang minum antibiotik sekali sehari.
Biasanya dosisnya harus diminum tiga kali sehari.
Kemudian bakteri menjadi resisten terhadap obat tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui hukum penggunaan antibiotik.
Bila dokter meresepkan antibiotik sesuai petunjuk medis, pasien harus menyelesaikan dosis dan durasi penggunaan obat yang ditentukan.
“Penggunaan antibiotik sebaiknya sesuai petunjuk dokter. Dokter juga harus memenuhi kriteria dalam meresepkan antibiotik, lanjut Syahril.
“Masyarakat juga harus mendengarkan. Jika dokter meresepkan antibiotik selama tiga hari, maka antibiotik tersebut harus diminum selama jangka waktu tersebut. “Jangan diminum sekali sehari, atau resepnya bilang tiga kali sehari, diminum sekali,” lanjutnya.
Menurut Syahril, bakteri yang kebal antibiotik berisiko menyebar dan berbahaya.
Resistensi antibiotik membuat antibiotik menjadi tidak efektif dan sulit diobati.
Hal ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit, memperburuk gejala, menyebabkan kecacatan dan kematian.
“Kalau muncul resistensi, banyak bakteri yang tertinggal di dalam tubuh. Lalu menyebar lagi dan menjadi lebih berbahaya. Misalnya tuberkulosis multidrug-resisten (MDR-TB),” ujarnya.
MDR-TB mengacu pada resistensi bakteri TBC terhadap obat anti-TB.
Pengobatan tuberkulosis harus dilakukan dan diresepkan selama enam bulan.
Untuk dua bulan pertama, diberikan empat obat berbeda, antara lain rifampisin, INH, etambutol, dan pirazinamid.
Keempat obat ini sebaiknya diminum setiap hari selama dua bulan.
Selain itu, hingga empat bulan ke depan, pengobatan TBC dilanjutkan dengan pemberian dua jenis obat.
“Kalau obatnya sebulan, apalagi dua minggu, bakteri tuberkulosisnya akan mati. “Kalau ada resistensi, sulit diobati,” lanjut Syahril.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), TB-MDR masih bisa diobati dan disembuhkan dengan menggunakan obat lini kedua.
Namun, terapi sekunder memerlukan obat yang lebih mahal.
Dalam beberapa kasus, kecanduan bisa menjadi lebih kuat.
Tuberkulosis, yang disebabkan oleh bakteri yang kebal terhadap obat anti-TB lini kedua yang paling efektif, membuat pasien hanya memiliki sedikit pilihan pengobatan.
MDR-TB merupakan masalah kesehatan masyarakat. Anda harus menggunakan semua obat dengan hati-hati
Untuk mencegah risiko resistensi bakteri, pembicara Muhammad Syahril mengingatkan agar penggunaan antibiotik selalu sesuai petunjuk dokter.
Selain itu, perlu berhati-hati saat mengonsumsi obat lain.
Sebagai obat infeksi virus, seperti batuk dan pilek.
“Hindari penggunaan obat-obatan yang dijual bebas, termasuk obat penurun demam, obat pereda batuk, dan lain-lain. “Jika gejalanya (demam) ringan, bisa mencoba cara tradisional seperti kompres, banyak minum air putih, makan banyak,” sarannya.
“Kalau (gejala) masih berlanjut, konsultasikan ke dokter. Sekali lagi, tidak hanya antibiotik, tapi semua obat harus digunakan dengan hati-hati,” ujarnya.