Wartawan geosurvey.co.id, Namira Yunia melaporkan
geosurvey.co.id, SEOUL – Pemogokan yang dilakukan oleh serikat pekerja baja Korea Selatan yang menuntut pengunduran diri Presiden Korea Selatan Yoon Seok-yeol telah mengganggu industri otomotif negara tersebut.
Serikat Pekerja Hyundai Motor juga berpartisipasi dalam pemogokan dan mengorganisir pemogokan massal pada hari Kamis dan Jumat.
Perwakilan serikat pekerja mengumumkan bahwa mereka akan mogok selama empat jam sehari.
Mereka menolak keputusan Presiden Yoon Seok-yeol yang memberlakukan keadaan darurat militer di Korea Selatan untuk mengatasi kekacauan politik negara tersebut.
“Kami akan berjuang bahu-membahu dengan rakyat dan memimpin jalan untuk segera memecat Yoon Suk-yeol,” kata Konfederasi Serikat Buruh Korea.
Setelah rumor kudeta yang dilakukan oleh faksi pro-Korea Utara menyebar, Presiden Yoon Seok-yeol tiba-tiba mengumumkan keadaan darurat dan mengerahkan pasukan di sekitar gedung parlemen.
Dalam pidatonya pada Selasa malam, Presiden Yoon merujuk pada upaya oposisi untuk menggulingkan pemerintah sebelum mengumumkan darurat militer untuk “menghilangkan kekuatan yang menghancurkan negara.”
Namun, baru-baru ini terungkap bahwa alasan Presiden Yoon mengumumkan darurat militer bukan karena ancaman eksternal, namun karena perselisihan mengenai anggaran dan tindakan lain antara Presiden Yoon dan parlemen yang dikuasai oposisi.
Meskipun darurat militer dicabut enam jam setelah pengumuman tersebut, tindakan tersebut dikritik oleh berbagai serikat pekerja dan kelompok masyarakat.
Bahkan Federasi Serikat Buruh Korea menuduh Presiden Yoon bertindak tidak logis dan tidak demokratis.
Hyundai Motor belum mengomentari rencana pemogokan tersebut. Namun jika pemogokan terus berlanjut tanpa batas waktu, hal ini akan berdampak pada industri otomotif Korea Selatan.
Pabrik Hyundai di Korea Selatan menghadapi ancaman penghentian produksi mobil canggih.
Kelompok pekerja di lokasi produksi mengancam akan melakukan aksi mogok, yang dapat mengganggu produksi, memperlambat pasokan, dan menimbulkan risiko baru terhadap rantai pasokan global.