Tribun News.com, Jakarta – Pelabelan kandungan gula, garam, dan lemak akan dilakukan pada setiap kemasan makanan dan minuman. Pelabelan dilakukan sebaik mungkin agar dapat dibaca dan dipahami oleh pengguna.
“Dengan begitu, penggunaan gambar sebagai logo akan lebih menarik dan lebih mudah diterima serta dipahami,” kata Anggota Komite Pertimbangan Presiden (Wantimpress) Agung Lacsono dalam keterangannya, Selasa (24/9/2024).
Menurut Agung Laksono, Wantimpres saat ini sedang menyusun saran dan perkiraan (nastim) untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak guna mencegah tekanan darah tinggi, jantung, dan diabetes yang merupakan tiga penyebab kematian terbesar di Indonesia.
Ia mengatakan salah satu penyebab penyakit ini adalah konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan.
Menurut studi Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 (dari Menks), 29,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi gula, garam, dan lemak dalam jumlah lebih dari normal. Untuk itu muncul pembahasan mengenai pemberian label yang menunjukkan tingkat risiko konsumsi gula, garam, dan lemak.
“Kami ingin mendengar pendapat, penjelasan dan saran dari perempuan dan kalangan mengenai masalah ini,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya penanggulangan penyakit tidak menular (PTM) melalui kebijakan kesehatan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan.
Ketentuan tambahan mengenai pengendalian PTM diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2018. Pada tahun 2024, dalam UU Nomor 17 Tahun 2023, mengacu pada pengendalian PTM bidang kesehatan, termasuk dalam pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak. .
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia (BPOM) Taruna Ikrar mengatakan peraturan pelabelan pangan untuk tingkat risiko kandungan gula, garam, dan lemak (GGL) akan segera diterapkan. Ia mengatakan, penetapan standar gizi merupakan amanah dan fungsi BPOM.
Menurut dia, salah satu penyebab penyakit tidak menular (PTM) adalah pola makan yang tidak sehat, antara lain konsumsi gula, garam, dan lemak. Sebelumnya, kebijakan pelabelan ini juga direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia
“Salah satu strategi pengendalian konsumsi GGL adalah dengan menetapkan pencantuman Fakta Gizi (ING) pada pangan olahan dan/atau pangan siap saji, termasuk informasi kandungan GGL,” kata Taruna Ikrar.
Deputi 3 BPOM Elin Herlina menambahkan, penyusunan kebijakan akan dilakukan dalam format inklusi gizi.
Food grade ini terdiri dari 4 grade (Grade A, B, C dan D) yang menunjukkan tingkatan makanan olahan berdasarkan kandungan GGL.
Grade A memiliki kandungan GGL terendah sedangkan Grade D memiliki kandungan GGL tertinggi. Penerapan kewajiban mencantumkan kadar gizi pada makanan jadi dilaksanakan secara bertahap.
Untuk tahap pertama, konten GGL difokuskan pada minuman siap saji Tier C dan Tier D. Kewajiban penerapan standar gizi juga berlaku terhadap makanan jadi produksi BPOM dan makanan siap saji. Makanan yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan CT Nadia Tarmizi, tujuan utama aturan tersebut adalah memasukkan informasi konten GGL untuk mengajarkan literasi dan numerasi sehingga masyarakat dapat menggunakan produk pilihannya. Apa yang ingin kamu makan.
“Dengan informasi ini, masyarakat bisa menghitung kadar GGL yang dikonsumsi masyarakat,” ujarnya.