Wartawan geosurvey.co.id Fransiskus Adhiyuda melaporkan
geosurvey.co.id, JAKARTA – Rencana pemerintah menunda kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok pada tahun 2025 menuai banyak kritik dari berbagai pihak.
Penasihat Senior Center for Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis, Ahmad Dahlan Jakarta (ITB-AD), Mukhaer Pakkanna menilai kebijakan tersebut mungkin merupakan langkah mundur dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakat di seluruh tanah air, khususnya. . tentang pengendalian zat adiktif seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Padahal, peringatan Hari Kesehatan Nasional pada 12 November seharusnya menjadi momentum untuk memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat.
“Jika kebijakan penundaan kenaikan cukai rokok benar-benar diterapkan, maka kita akan menghadapi kemunduran yang serius. Hal ini sama saja dengan memukul upaya kita dalam melindungi kesehatan masyarakat, terutama dalam hal pembatasan akses terhadap produk tembakau dan zat adiktif,” ungkapnya. Mukhaer. , Rabu (13/11/2024).
Sebagai informasi, PP Nomor 28 Tahun 2024 berasal dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 yang mengatur tentang pembatasan iklan rokok, peringatan kesehatan pada kemasan, dan larangan menjual rokok kepada anak di bawah 21 tahun dan di beberapa tempat seperti dekat sekolah. . .
Kebijakan ini juga mencakup pengendalian terhadap rokok elektronik yang semakin banyak ditemui di kalangan anak muda.
Menurut Mukhaer, penundaan kebijakan cukai menghambat beberapa rencana upaya pengendalian konsumsi rokok.
Menurut penelitian Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada tahun 2023, kenaikan harga rokok berbanding lurus dengan penurunan jumlah anak yang mulai merokok.
“Harga rokok yang murah terbukti menjadi faktor penting yang memudahkan anak-anak untuk mencoba merokok bahkan kembali merokok lagi,” tambahnya.
Studi terbaru yang dilakukan oleh CHEDs ITB-AD juga mengungkapkan bahwa kebijakan kenaikan pajak dan harga tembakau tidak hanya menurunkan prevalensi merokok di kalangan lansia dan muda, namun juga memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat miskin.
“Ini bukan hanya instrumen pengendalian tembakau, tapi juga instrumen efektif dalam pengentasan kemiskinan,” kata Mukhaer.
Simulasi dari laporan Menaikkan Pajak dan Harga Tembakau untuk Indonesia Sehat dan Sejahtera (2020) mendukung pernyataan tersebut.
Diperkirakan kenaikan pajak tahunan sebesar 25 persen bisa menurunkan jumlah perokok hingga dua kali lipat dan menghasilkan tambahan pendapatan negara sebesar Rp 102,8 triliun.
“Mengurangi biaya tembakau di kalangan keluarga miskin akan memperkuat kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi rumah tangga. Konsumsi rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga mengganggu kualitas hidup masyarakat miskin,” dia menjelaskan.
Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, diharapkan kebijakan terkait pengendalian tembakau dapat dilaksanakan secara konsisten untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Indonesia.