geosurvey.co.id, JAKARTA – Penangkapan ikan ilegal di Tiongkok mendapat perhatian global karena dilakukan dalam skala besar dan berdampak negatif terhadap kehidupan laut, mata pencaharian, dan dunia.
Direktur Kantor Integrasi Maritim Nasional Amerika Serikat (AS), Laksamana Muda Mike Studeman, menyebut China melanggar standar maritim.
“Pemanfaatan ikan yang tidak terkendali dan eksploitasi sumber daya laut telah menyebabkan kepunahan ikan domestik. Hal ini menyebabkan peningkatan ikan domestik. Hal ini berdampak pada meningkatnya Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) fishing yang dilakukan oleh nelayan Tiongkok. dengan dukungan Beijing, kata Studeman. , diambil dari NewsDay.co.zw, Jumat (1/11/2024).
Studeman mengatakan kapal penangkap ikan Tiongkok beroperasi secara diam-diam di tempat yang jauh. Termasuk, antara lain Samudera Atlantik, Hindia, Selatan, dan Pasifik serta perairan Amerika Selatan, Afrika Timur dan Barat, Antartika, dan Kepulauan Pasifik Selatan.
“Untuk menghindari kehadiran otoritas setempat, kapal penangkap ikan Tiongkok terkadang mematikan sinyal Sistem Identifikasi Otomatis, dan beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif negara lain tanpa izin untuk menggunakan peluang penangkapan ikan,” kata Studeman.
Tiongkok diyakini melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan lebih dari 80 negara.
Penangkapan ikan ini dilakukan untuk memenuhi permintaan makanan laut yang terus meningkat.
Faktanya, Tiongkok terkenal dengan kemampuannya menangkap ikan yang sangat berbahaya bagi lingkungan, sehingga dinobatkan sebagai negara paling merusak oleh Asian Marine Transparency Initiative (AMTI).
Perikanan Tiongkok semakin terkuras akibat meningkatnya permintaan dan eksploitasi sumber daya laut, tanpa adanya kepedulian terhadap keberlanjutan.
Nelayan Galapagos, Alberto Andrade, mengungkapkan keprihatinannya karena kapal-kapal Tiongkok memasuki wilayah laut Galapagos.
“Kekerasan kami tidak dapat lagi menahan tekanan ini. Kapal-kapal industri (Tiongkok) mengurangi stoknya, dan kami khawatir tidak akan ada penangkapan ikan di masa depan,” katanya.
Sementara itu, Pemerintah Beijing memberikan dukungan yang signifikan kepada para nelayan.
Hal ini memungkinkan mereka membangun kapal dengan teknologi yang mendukung transportasi jarak jauh, untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam dan luar negeri Tiongkok.
“Meskipun demikian, Tiongkok telah menghindari konsekuensi dari tindakannya,” kata kepala militer dan analis AS Blake Herzinger.
Pendiri Environmental Justice Foundation (EJF) Steve Trent mengungkapkan permasalahan tersebut bertambah karena adanya Belt Road Initiative (BRI). Pasalnya, banyak pelabuhan dan fasilitas perikanan yang dibangun di negara-negara di Samudera Hindia Barat Daya (SWIO) oleh China.
Steve Trent mengamati bahwa Tiongkok berusaha menghasilkan uang di negara-negara yang berbatasan dengan SWIO sebagai solusi yang saling menguntungkan. Namun kenyataannya penangkapan ikan di wilayah tersebut menimbulkan kerugian langsung.
“(Kerugian) juga berdampak pada masyarakat di pesisir pantai yang mata pencahariannya terancam dengan apa yang terjadi di kapal dagang tersebut, masyarakat yang melihat pelanggaran HAM dan negara-negara SWIO yang terbebani utang dari Tiongkok,” kata Steve.
Hal senada juga diungkapkan Juru Bicara Uni Eropa di Parlemen, Pierre Karleskin. Penangkapan ikan ilegal dan berlebihan di Tiongkok telah berdampak pada perikanan dunia.
“Kami melihat bagaimana Tiongkok menguras perairan negara ketiga dan mensubsidi armada penangkapan ikannya sehingga merugikan perikanan dan kapal penangkap ikan UE,” katanya.
Oleh karena itu, Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) mengatakan terdapat ketergantungan yang tinggi pada penangkapan ikan. Sehingga menimbulkan penangkapan ikan ilegal dan industri, serta menyebabkan musnahnya ikan di Laut Cina Selatan.
“Kerusakan lingkungan besar-besaran yang dilakukan Tiongkok merupakan cerminan dari strategi Tiongkok yang lebih luas untuk mengendalikan air dan sumber daya alam di Laut Cina Selatan,” kata CSIS.
SUMBER